Peningkatan persediaan minyak mentah Amerika Serikat nampaknya tidak sebesar perkiraan semula. Begitu menurut Laporan Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan persediaan minyak mentah AS naik hanya 0,9 juta barel pada pekan lalu menjadi 534 juta barel.

 

Fakta ini punya dua arti. Pertama, memupus kekhawatiran para pelaku pasar bahwa akan terjadi over produksi minyak mentah yang membawa dampak menurunnya harga minyak. Kedua, peningkatan persediaan minyak mentah AS yang tidak sesuai prediksi para pakar perminyakan, mengindikasikan adanya pengetatan pasokan minyak di negeri Paman Sam ini. Yang berarti, ketahanan energi/minyak AS saat ini masih dalam keadaaan rawan. Artinya, minyak mentah masih merupakan kebutuhan utama Amerika.

Tren global ini jadi menarik untuk mencermati kebijakan strategis dan manuver politik Presiden AS Donald J Trump dalam beberapa waktu ke depan.

Menurut analisis M Arief Pranoto, pengkaji geopolitik dan Direktur Program Studi Geopolitik dan Studi Kawasan Global Future Institute, Trump sebagai mantan pelaku pasar menyadari pentingnya AS mengubah arah kebijakan ekonomi yang tadinya berorientasi impor, khususnya minyak, ke arah pengembangan ekonomi manufaktur dan ekspor.

Pertimbangannya, kebijakan ekonomi AS yang selama ini berorientasi impor, terutama impor minyak, ternyata telah menggerus cadangan devisa negara.

Pertanyaannya, mungkinkah Trump benar-benar bermaksud mengurangi impor minyak, padahal AS merupakan pasar terbesar bagi ekspor minyak Arab Saudi dan OPEC?

Di sinilah teori yang mengatakan bahwa AS akan mengurangi impor minyak rasa-rasanya seperti ada yang tidak pas.  Sepertinya antara retorika dan jargon yang dikumandangkan Trump kepada rakyat Amerika dan sasaran strategis yang sesungguhnya, bakal berbeda 180 derajat.

Dalam pengamatan Arief Pranoto, sejak 1970-an sistem“petrodolar” yang diciptakan oleh AS malah lebih menguntungkan Paman Sam daripada Arab Saudi sendiri.

Inti “petrodolar” adalah bahwa minyak menjadi standar dalam pembentukan nilai mata uang dolar AS. Dalam model ini, Arab Saudi memang menikmati untung besar dari perdagangan minyak, tetapi AS sendiri justru menikmati keuntungan jauh lebih besar daripada Arab Saudi.

Mengapa? Karena ia bisa mencetak dolar sesuka hati tanpa perlu colleteral. Ya. Sekitar 1971-an, AS keluar dari kesepakatan Bretton Woods yang didirikannya usai Perang Dunia II dalam rangka mengglobalkan dolar sebagai currency world. Mata uang dunia. Petrodolar ialah sistem yang mencampakkan emas sebagai jaminan untuk mencetak dolar.

Sehingga ketika Trump beretorika akan mengandalkan ladang-ladang minyaknya sendiri yang secara hitungan justru merugi setiap barelnya sekitar 12-an dolar/barel (apabila asumsi harga 20 barel/hari), bisa dipastikan Trump sudah punya sumber-sumber minyak alternatif di luar Arab Saudi. Siapa lagi kalau bukan Rusia?

Ada benarnya memang bahwa 60% kebutuhan (dalam negeri) di atas memang dipenuhi dari ladang-ladang di dalam negeri AS sendiri, sisanya 40% impor dari berbagai negara (dan terbanyak dari Arab Saudi). Maka itu, untuk melengkapi kebutuhan yang 40 persen sisanya itu, maka AS harus punya negara pemasok minyak yang kapasitas produksi dan ketersediaan minyak mentahnya sama besarnya dengan Arab Saudi.

Dalam hal ini, Rusia sangat berpotensi menjadi mitra strategis AS di bidang energi dan migas.

Betapa tidak. Kapasitas produksi minyak Rusia sejatinya hampir sama dengan Arab Saudi, yaitu sekitaran 10 juta barel per hari. Kalau ini benar-benar merupakan rencana strategis yang ada di benak Trump dan para perancang kebijakan strategis di Washington, maka prospek perdamaian dan penyelesaian Krisis Suriah yang berlarut-larut sejak 2011 hingga sekarang.

Kalau kepentingan minyak AS dan Rusia bisa disinergikan, maka persaingan global kedua negara yang memancar di Suriah, Afghanistan, Irak, apalagi Ukraina, bisa segera berakhir. Atau setidak-tidaknya akan dikondisikan ke arah terciptanya suatu kesepakatan baru atas dasar win-win solution.

Begitulah yang namanya the power of oil ala Amerika. Minyak bisa jadi pemicu perang antar negara adikuasa, tapi minyak juga bisa jadi dasar terciptanya sinergi antar berbagai negara.

Maka benarlah ungkapan pakar geopolitik Deep Stoat: “If you would understand world geopolitik today, follow the oil”. Jika ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti kemana aliran minyak. Antar negara bisa perang gara-gara minyak, antar negara juga bisa bersekutu demi untuk minyak.

Hendrajit.