Dalam aksinya mereka memohon keadilan dan solusi atas putusan Mahkamah Agung tentang pembatalan izin lingkungan PT Semen Indonesia. Putusan tersebut membuat resah ribuan warga desa - desa diseputar pabrik yang telah bekerja dan merasakan manfaat kehadiran pabrik semen PT Indonesia di Rembang Jawa Tengah, sehingga kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.

Jakarta, Aktual.com – Ada yang menarik diucapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menutup Rapimnas Golkar 28 Juli 2016 lalu.

Dalam pidatonya dia mengatakan, “Sekarang dibutuhkan kebijakan yang cepat agar kita juga cepat antisipasi. Maka kondisi stabilitas keamanan dan politik sangat-sangat dibutuhkan.”

Ada beberapa catatan mengapa Jokowi mengungkapkan hal itu. Dia mencatat, situasi ekonomi global saat ini mengalami pertumbuhan merosot ke bawah. Bahkan ada negara yang pertumbuhannya minus. Dari sisi geopolitik, gerakan terorisme yang semakin ganas dan menyebar ke seluruh dunia. Berita ledakan bom hampir di negara lain terjadi setiap bulan.

Itu adalah salah satu alasan penting dibalik makna stabilitas kemanan dan politik yang dikemukakan Jokowi. Masuknya Golkar ke ‘kubu’ pemerintahan adalah salah satu bentuk untuk menciptakan stabilitas politik.

Dalam kesempatan lain, Jokowi juga menyatakan bahwa stabilitas politik sangat penting untuk mewujudkan stabilitas ekonomi.

Mari kita menoleh ke belakang dulu untuk melihat makna stabilitas.

Kata ‘stabilitas pembangunan’ adalah kata mantra dalam kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Stabilitas politik, ekonomi dan keamanan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pembangunan nasional tak terganggu. Itu yang menjadi landasan penting seluruh kebijakan pembangunan rezim Orde Baru.

Mengenai kepemimpinan Soeharto, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan sungguh besar sekali jasa Soeharto bagi bangsa dan negara ini meski juga sangat besar kesalahannya pada bangsa dan negara ini. Secara khusus, Gus Dur menyatakan harus diakui bahwa di era rezim Soeharto lah pembangunan sangat tertata rapi. Ada tahapan-tahapannya.

Namun, di sisi lain, pemaknaan stabilitas ala rezim ini dalam banyak hal justru mematikan banyak potensi dan hak asasi warga negaranya. Dengan sangat mudah, atas nama stabilitas pembangunan, birokrasi dan militer menutup setiap letupan-letupan kritik. Atas nama stabilitas pembangunan juga, negara berhak memaksakan kehendaknya meski harus memberangus hak-hak asasi warga negaranya.

Berhari, berbulan dan bertahun kata ‘Stabilitas Pembangunan’ mampu membuat takut warga negara yang kritis atau dianggap kritis. Dunia dan lembaga akademik pun tak berdaya untuk mengritisi kebijakan-kebijakan pembangunannya. Hampir seluruh diskusi-diskusi kritis selalu dilakukan tertutup agar dan sedapat mungkin tidak terlacak.

Polisi dan TNI yang seharusnya pelindung warga negara justru menjadi “musuh” pada saat itu. Maklum, alat penting stabilitas pembangunan saat itu adalah Polisi dan TNI.

Mungkin rezim saat itu luput dalam memaknai kata stabilitas saat itu.

Sebenarnya, hakikat stabilitas dalam sebuah negara adalah soal bagaimana sebuah negara menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi setiap warga negaranya.

Instabilitas akan tetap terjadi jika negara tetap membiarkan ketimpangan kesejahteraan terjadi. Sistem ekonomi liberal (yang saat ini terbukti gagal) yang dipakai negara saat ini adalah faktor penting dalam memengaruhi instabilitas ekonomi (dan ketimpangan kesejahteraan). Sistem ekonomi liberal hanya menyejahterakan pemilik modal. Bukan rakyat.

Hanya akan membuang energi dan waktu saja kalau cara mewujudkan stabilitas ekonomi hanya diartikan sebatas kebijakan-kebijakan kulit saja. Tanpa menyasar ke akar masalahnya: gagalnya sistem ekonomi liberal.

Instabilitas juga akan tetap terjadi jika rasa keadilan (baca:supremasi hukum) tak pernah ditegakkan secara penuh. Dan negara cenderung memihak ke kepentingan atau golongan tertentu.

Banyak fakta dan kasus dimana negara (atas nama hukum) ternyata memberangus dan mengambil secara paksa hak-hak ekonomi atau kehidupan rakyatnya sendiri hanya atas nama kepentingan kelompok atau kepentingan modal tertentu.

Itu belum tercatat banyak fakta yang dilihat oleh mata dan telinga rakyatnya sendiri saat hukum jadi alat politik bagi kepentingan negara, birokrat, politisi, golongan dan kepentingan modal untuk memuaskan hasrat dan tujuan material mereka semata.

Hanya akan membuang energi dan waktu saja kalau negara gagal menjadikan supremasi hukum sebagai panglima.

Hanya akan membuang energi dan waktu saja kalau negara masih menjadikan supremasi hukum ada dibawah kepentingan modal, politik dan kekuasaan/kepentingan golongan.

Puluhan kebijakan untuk menyetabilkan negara akan hanya jadi pepesan kosong jika akar masalahnya tidak pernah terselesaikan: soal kesejahteraan dan dan keadilan hukum.

Itu beberapa catatan penting soal bagaimana memaknai hakikat stabilitas.