Jakarta, Aktual.com – Sebuah media massa Australia memberitakan adanya petisi yang menuntut pelaksanaan referendum Papua Barat telah disampaikan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dalam pemberitaan itu, disebutkan jika petisi tersebut telah ditandatangani oleh 1,8 juta penduduk Papua Barat, atau 70 persen dari total penduduk yang mendiami wilayah tersebut.

Tidak disebutkan secara pasti waktu penyampaian petisi ini di PBB dalam berita yang dikeluarkan oleh kantor berita ABC (www.abc.net.au) ini. Hanya saja, PBB disebutkan telah menunjuk perwakilannya untuk menyelidiki pelanggaran HAM oleh aparat kemanan Indonesia terhadap warga Papua.

“Petisi tersebut menuntut pemungutan suara bebas mengenai kemerdekaan Papua Barat serta penunjukan perwakilan PBB untuk menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia,” demikian kutipan dari berita yang dirilis pada Kamis (28/9).

Tidak hanya itu, dalam berita yang cukup provokatif itu juga disebutkan petisi tersebut mendapat sambutan positif dari Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare.

“Mereka datang dalam jumlah banyak untuk mengungkapkan harapan mereka demi masa depan yang lebih baik,” kata Sogavare dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, seperti yang dilansir Aktual dari abc.net.au.

Selain itu, ABC juga menyatakan jika penyebaran petisi referendum Papua Barat di wilayah ini sebenarnya telah dilarang oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, pemerintah Indonesia disebut akan menangkap dan memenjarakan semua orang yang menandatangi petisi tersebut.

Namun demikian, petisi tersebut tetap disebarkan oleh para kelompok separatis dengan cara menyelundupkannya ke desa-desa yang ada di Papua.

Sejumlah anggota separatis menyatakan jika warga Papua Barat tidak pernah diberikan kebebasan dalam menentukan nasib mereka secara sah sejak 1969.

Juru bicara Gerakan Pembebasan Papua Barat, Benny Wenda, mengatakan bahwa penandatanganan petisi tersebut merupakan “tindakan berbahaya” bagi warga Papua Barat, dengan 57 orang ditangkap karena mendukung petisi tersebut, dan 54 orang disiksa oleh pasukan keamanan Indonesia selama kampanye itu berlangsung.

“Petisi Global untuk Papua Barat, yang dilakukan bersamaan dengan Petisi Rakyat Papua Barat, juga menjadi target dan situs yang awalnya menampung petisi itu, yakni Avaaz, diblokir di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Sementara itu, akademisi dari Departemen Studi Perdamaian dan Konflik di Universitas Sydney, Jason Macleod berpendapat, petisi yang menuntut dilaksanakannya referendum Papua Barat merupakan sebuah hal yang wajar.

Ia mengatakan, petisi tersebut perlu dipahami sebagai “penolakan mendasar” atas klaim kedaulatan Pemerintah Indonesia di Papua Barat.

“Dengan cara yang sangat jelas dan langsung, petisi tersebut mewakili permintaan rakyat Papua atas dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri, keinginan mereka untuk secara bebas dan adil menentukan masa depan mereka sendiri,” ucapnya Macleod.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: