Jakarta, Aktual.com – Seperti efek domino, bila pada awalnya salah perhitungan, akan memberi dampak kepada langkah selanjutnya. Bahkan bukan tidak mungkin menjadikan permasalahan semakin kusut. Barangkali kalimat singkat ini dapat menggambarkan keadaan program ambisius pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) berupa penambahan daya listrik sejumlah 35.000 Mega Watt (MW).

Sebagaimana dipahami, laju pertumbuhan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan konsumsi listrik. Dengan gairah aktifitas perekonomian, praktis semakin meningkat permintaan konsumsi daya listrik. Karenanya persediaan energi listrik harus diselaraskan dengan tingkat pertumbuhan perekonomian.

Diketahui pada masa transisi kepemimpinan nasional dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014, kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 53.585 MW. Sedangkan laju pertumbuhan penjualan tenaga listrik pada periode itu rata-rata 8 persen pertahun. Pada akhir jabatan SBY, laju penjualan listrik mengalami perlambatan di angka 6,3 persen dari target 7 persen atau hanya mencapai 197,3 Terrawatt hour (Twh). Penurunan angka penjualan tenaga listrik tersebut selaras dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional pada 2014 hanya mencapai 5,02 persen dibanding tahun sebelumnya 5,56 persen.

Lalu kemudian, entah darimana bisikan berhembus, tiba-tiba Jokowi sebagai presiden yang baru dilantik kala itu, mencanangkan pembangunan pembangkit dengan kapasitas 35.000 MW selama periode jabatannya. Hal ini termaktub dalam rencana pembangunan jangka menegah nasional (RPJMN 2015-2019) hingga proyek itu secara resmi diluncurkan pada Mei 2015.

Gara-Gara Rizal Ramli, Kabinet Jokowi Sempat Terpecah

Proyek yang diperkirakan menelan dana investasi Rp1.100 Triliun itu terbilang sangat ambisus hingga Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli kala itu, menyampaikan kritik keras di ruang publik tanpa mengindahkan posisinya sebagai bagian dari kabinet. Rizal menunjukkan bahwa dia bukan orang yang tipekal ‘yes bos’. Dengan lantang Rizal mengatakan bawa proyek itu mustahil akan dapat diselesaikan pada 2019.

“Setelah kami bahas, 35.000 MW tidak mungkin dicapai 5 tahun, paling mungkin itu 10 tahun,” kata dia.

Rizal menegaskan, jikapun proyek itu dipaksakan selesai dalam 5 tahun, dia merasa ragu atas asumsi pertumbuahan ekonomi sebesar 7 persen yang menjadi acuan dari perencanaan program. Belum lagi terdapat proyek sedang konstruksi kala itu sebesar 7.000 MW, sehingga diperkirakan akan mengalami kelebihan daya cukup besar yakni 21.000 MW yang akan membebankan keuangan PT PLN (Persero) lantaran sistem take or pay mengharuskan PLN membayar kepada Independen Power Producer (IPP) meskipun daya yang disalurkan tidak terjual ke pelanggan.

“Kalau itu dipaksakan selesai, PLN akan mengalami kelebihan daya mencapai 21.331 MW kapasitas listrik tidak terpakai. Take or pay artinya PLN wajib bayar pada IPP walaupun dayanya tidak terserap. Artinya PLN akan bayar tidak kurang dari USD10,763 miliar per tahun,” kata Rizal.

Sikap Rizal itu menjadi polemik tersendiri dengan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, hingga Jokowi memberi peringatan pada Rizal agar tidak terulang lagi. Dalam pidato launching program 35.000 MW, Jokowi menepis anggapan program itu terlalu ambisus. Menurut Jokowi, proyek 35.000 MW merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mendorong perekonomian nasional. Jokowi menegaskan bahwa program itu telah terencana dengan baik dan dia akan mengawal prosesnya baik secara langsung maupun dari aspek kebijakan dengan mempermudah segala perizinan.

Baca juga http://www.aktual.com/tarif-listrik-dibakar-kenaikan-batubara/

“Kalau kita lihat selama hampir 70 tahun Indonesia merdeka, baru 50.000 mega watt yang dibangun oleh pemerintah, sekali lagi selama hampir 70 tahun baru dibangun 50.000 mega watt yang dibangun oleh pemerintah kita. Oleh sebab itu banyak yang menyangsikan dalam 5 tahun akan dibangun 35.000 mega watt, ini apakah tidak terlalu ambisius. Saya sampaikan tidak,” tegasnya.

Selanjutnya…
Sejak 2016 Indikasi Kegagalan Proyek Mulai Tercium

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dadangsah Dapunta