Persaingan Jokowi dan Prabowo masih akan terjadi pada Pilpres 2019. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pesta demokrasi lima tahunan yang bertajuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 masih akan berlangsung setahun lagi.

Berbeda dengan Pemilu edisi sebelumnya, pada Pemilu 2019 nanti Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dilangsungkan secara bersamaan.

Ibarat peperangan dahsyat, Pemilu 2019 khususnya perebutan kursi RI-1, “Tabuh Genderang Perang” pun sudah mulai menggema seantero negeri ini dan bahkan saat ini sudah menjadi perbincangan publik yang hangat.

Tak kalah ramainya juga, beberapa lembaga survei ternama telah mengeluarkan hasil survei terbaru terkait prediksi siapa yang bakal menjadi pemenang pada laga pertarungan tersebut, apakah Indonesia akan memiliki pemimpin yang baru, atau pemimpin incumbent akan kembali memimpin republik ini sampai 5 tahun ke depan, sehingga menarik untuk kita nantikan.

Jokowi dan Prabowo Masih Tetap Teratas

Aroma persaingan pada Pilpres 2014 antara Jokowi dan Prabowo nampaknya masih akan kembali terjadi pada Pilpres 2019. Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) misalnya, lembaga survei ini telah mengeluarkan hasil survei siapa saja kandidat presiden yang bakal muncul pada Pilpres 2019. Pada hasil survei berlangsung di penghujung tahun 2017 lalu, disebutkan nama Joko Widodo alias Jokowi sebagai petahana masih bertengger di posisi puncak dengan raihan persentase 53,8 persen, survei ini dilakukan dengan menggunakan pertanyaan semi terbuka. Sementara posisi runner-up, Prabowo Subianto yang ambil posisi tersebut dengan meraup 18,5 persen, kemudian diikuti oleh nama lainnya yang tidak lebih meraih angka 3 persen.

Tak berbeda jauh dengan hasil survei lembaga lain, hasil survei yang dirilis dari Lembaga Survei LSI Denny JA, juga menempatkan Jokowi sebagai calon presiden terkuat di Pilpres 2019.

Hasil survei tersebut diperoleh seiring dengan tingginya tingkat elektabilitas dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi selama ini. Survei LSI Denny JA juga memposisikan elektabilitas Jokowi masih yang memimpin ketimbang dengan semua calon presiden yang disimulasikan.

Bahkan hasil survei juga menyebutkan jika jumlah total dukungan kepada semua calon presiden di luar Jokowi jika digabung hanya meraih angka 41.20 persen dan masih ketinggalan jauh dengan raihan Jokowi yang mencapai angka 48.50 persen.

Survei LSI Denny JA dilakukan terhadap 1.200 responden yang dipilih berdasarkan multi stage random sampling. Sementara wawancara melalui tatap muka langsung dengan responden berlangsung serentak di 34 propinsi dari tanggal 7 sampai tanggal 14 Januari 2018 lalu.

Survei yang dibiayai sendiri melalui bagian layanan publik LSI Denny JA dengan margin error kurang lebih 2,9 persen. Selain itu, survei dilengkapi dengan riset kualitatif seperti FGD, media analisis, dan wawancara narasumber secara mendalam.

Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda pada simulasi kandidat capres yang dilakukan oleh Poltracking, menunjukkan ada dua figur yang memiliki elektabilitas tertinggi, yakni Jokowi dan Prabowo Subianto.

Hasil survei tersebut bisa dikatakan jika tren dan gap elektabilitas kedua figur tak terlalu jauh berbeda dengan hasil survei Poltracking sebelumnya yakni pada November 2017, yakni berjarak antara 20-25 persen dengan elektabilitas Prabowo di angka 20-33 persen dan elektabilitas Jokowi di angka 45-57 persen.

Sedangkan pada simulasi head to head kedua figur tersebut, Jokowi unggul 57,6 persen dibanding Prabowo 33,7 persen.

“Di luar dua figur itu, semua tokoh baik elit politik lama maupun tokoh baru elektabilitasnya tak lebih dari 5 persen ketika dua figur ini masuk dalam pilihan pertanyaan capres,” jelas Yuda di Jakarta, Minggu (18/2).

Meski Teratas, Posisi Jokowi Belum Aman, Ini Ganjalannya

Memasuki tahun keempat masa jabatannya sebagai presiden, tak banyak membantu menaikkan elektabilitas Jokowi, tetap saja elektabilitas Jokowi belum juga menyentuh angka 50 persen.

Berbeda dengan elektabilitas Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dimana elektabilitasnya stabil dan berada di kisaran 60 persen jelang laga Pilpres. Tentu saja hal ini bisa menjadi lampu kuning bagi Jokowi yang ingin kembali berlaga di Pilpres 2019 yang disokong penuh oleh PDIP.

Dimana sesuai hasil Rakernas III PDIP di Bali, PDIP merekomendasikan pemenangan Jokowi yang secara resmi diumumkan sebagai capres pada 2019.
Pada kesempatan tersebut Ketua Umum PDIP Megawati Soekaroputri meminta para kader PDIP dimanapun berada untuk melaksanakan rekomendasi Rakernas III PDIP.

“Tiga hari kita berdiskusi menyampaikan usul dan saran hingga akhirnya kita bisa menyimpulkan dan membuat satu rekomendasi untuk eksternal yang artinya juga untuk kita sendiri dan internal tadi sudah dibacakan,” kata Megawati.

Masih menurut dia “Hanya satu tapi merangkum semua yang akan kita lakukan menuju kemenangan di 2019. Bunyinya, rapat kerja nasional ke III PDI Perjuangan merekomendasikan kepada semua anggota dan kader PDI Perjuangan dimanapun berada bersama rakyat untuk mengamankan, menjaga, dan mensukseskan keputusan ketua umum dengan mencalonkan kembali Bapak Ir Joko Widodo sebagai calon presiden Republik Indonesia periode 2019-2024,”.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit menilai langkah politik PDIP untuk mengumumkan secara awal sebelum memasuki tahun politik 2019 sangat janggal.

Pria yang pernah menjadi staf peneliti pada Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI) mengatakan keputusan itu sebagai bentuk untuk mematikan langkah para lawan politiknya.

“Saya melihat keputusan ini sebagai keputusan jangka pendek, yakni untuk mematikan langkah yang dianggap lawan politik oleh Ketua Umum Megawati. Salah satunya, mematikan langkah Jusuf Kalla (JK) dalam pertarungan di Pilpres nanti, karena pencapresan Jokowi lebih awal membuat JK sulit memainkan kartu politiknya dalam skema kerjasamanya dengan Jokowi dan Megawati,” kata Hendrajit saat dihubungi aktual.com, di Jakarta, Minggu (25/2).

Tidak hanya itu, Hendrajit menambahkan hasil keputusan untuk mencapreskan kembali Jokowi juga mengesankan jika Megawati sedang menggelar karpet merah untuk seseorang yang mungkin dikenal baik di internal maupun eksternal partai, akan tetapi tidak pernah diperhitungkan namanya akan masuk mendampingi Jokowi nantinya.

Sesuai hasil riset LSI Denny JA, Januari 2018 lalu, elektabilitas Jokowi hanya mencapai 48,50 persen. Sedangkan elektabiltas calon-calon pesaing Jokowi sebesar 41,20 persen dan ada 10,30 persen orang yang belum menentukan pilihan.

“Dari data itu, LSI melihat Jokowi sudah kuat tapi belum aman,” ujar Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfarabi, di Jakarta.

Atas hasil survei tersebut bisa dikatakan jika elektabilitas Jokowi masih belum aman, Menurut Adjie peluang Jokowi untuk bisa menjadi jawara di Pilpres tahun depan, yakni 50-50. Dimana peluang untuk menang dengan peluang menuai kekalahan sama besarnya.

Kemenangan di Pilpres 2019 lanjut dia bakal ditentukan melalui pengelolaan isu yang tepat oleh masing-masing calon.

“Sebesar 50 persen kemungkinan pejawat presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pejawat dikalahkan,” ujar Adjie.

Dimana Indonesia hingga kini baru menggelar Pilpres langsung sebanyak tiga kali yakni pada 2004, 2009, 2014 dan baru dua kali, pejawat presiden bertarung kembali yakni Megawati pada 2004 dan SBY pada 2009.

Di Pemilu 2014, tak ada pejawat presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan selama dua periode dan sesuai aturan yang berlaku dirinya sudah tak bisa lagi maju. Pilpres 2014 sendiri berlangsung tanpa kehadiran pejawat sebagai peserta.

Sedangkan pada tahun 2004, Megawati sebagai pejawat presiden kalah. Pada 2009, pejawat presiden menang. Dan sejarah Indonesia sendiri menunjukkan hal tersebut.

Merujuk pada Pilpres Amerika Serikat, kompetisi pejawat begitu ketat. Sesuai data dari 18 kali pemilu presiden terakhir dimana pejawat maju kembali untuk periode kedua, 10 kali pejawat presiden menang dan delapan kali pejawat presiden kalah. Persentase pejawat untuk menang dalam pilpres AS tersebut sebesar 55 persen.

Sedangkan di Indonesia dan AS, 50-55 persen pejawat presiden akan menang. Namun sebesar 45 -50 persen pula pertahana akan kalah. Data statistik ini bisa kemudian menjadi berita baik atau berita buruk untuk Jokowi selaku pejawat dan penantangnya kelak, tergantung kepada mereka dalam hal pengelolaan isu dan langkah apa yang harus mereka lakukan.

Berdasarkan hasil survei, isu di bidang ekonomi bakal menjadi isu yang rentan bagi Jokowi untuk kembali terpilih menjadi Presiden RI periode 2019-2024. Adjie menguraikan dari sisi kepuasan kinerja, 70 persen responden merasa puas atas kinerja Pemerintahan Jokowi, sedangkan 21,30 persen responden merasa kurang puas atas kinerja Jokowi selama dirinya menjadi presiden.

Pihaknya kata Adjie melihat jika posisi Jokowi sudah kuat tapi masih belum aman. Dalam jumlah besar, publik tak puas atas kondisi ekonomi selama ini.
“Masalahnya, isu ekonomi adalah isu terpenting yang membuat pejawat menang atau kalah,” ujar Adjie, Jumat (2/2).

Sebanyak 52,6 persen responden kata Adjie menyebut jika harga-harga kebutuhan pokok makin membebani kehidupan mereka. Sedangkan sebesar 54,0 persen responden menyebut kini mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Sementara 48,4 persen responden lain mengatakan jumlah pengangguran semakin meningkat.

Isu lainnya yang bakal mengganjal Jokowi yakni merebak isu buruh negara asing, utamanya mereka yang berasal dari Cina di tengah sulitnya warga pribumi mendapatkan lapangan kerja dan tingginya pengangguran di sejumlah daerah, isu tenaga kerja asing pun sangat sensitif.

Meski isu ini secara nasional belum santer di publik lantaran sesuai hasil survei LSI menunjukkan baru 38,9 persen responden yang mendengar isu ini. Dari jumlah itu, 58,3 persennya menyatakan sangat tidak suka dengan isu itu dan hanya 13,5 persen yang menyatakan suka.

Disisi lain, Jokowi juga rentan terhadap isu agama. Kekuatan dan isu Islam politik diprediksi juga akan mewarnai Pilpres 2019, seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, meski dalam kadar berbeda.

Islam politik sebagai terminologi untuk segmen pemilih yang percaya dan sangat yakin politik tak terisah dari agama. “Untuk pemilih Indonesia, jumlah segmen Islam Politik terbilang besar,” kata Adjie.

Terkait dengan masalah ini, sebanyak 40,7 persen responden menyebut ketidaksetujuannya jika agama dan politik terpisah. Sementara 32,5 persen publik menyatakan agama dan politik harus dipisahkan. Dari mereka yang menyatakan agama dan politik harus dipisahkan, tetapi 58,6 persennya mendukung kembali Jokowi sebagai presiden. Bagi mereka yang tidak setuju agama dan politik harus dipisahkan, 52,1 persennya mayoritas mendukung capres selain Jokowi.

Kendati demikian Jokowi masih memperoleh dukungan sebanyak 40,8 persen dar segmen Islam Politik ini.
Dua isu seksi ini diprediksi LSI Denny JA mesti diwaspadai Jokowi bagi kemenangannya pada Pilpres 2019.

Jokowi akan makin kuat dan perkasa jika isu-isu ini bisa dikelola dengan baik. Sebaliknya, posisi Jokowi akan melemah jika isu ini terabaikan, apalagi sampai ‘digoreng’ lawan politiknya.

Siapa Yang Cocok Dampingi Jokowi dan Prabowo ?

Indo Barometer menerbitkan rilis atas survei terbarunya terkait dengan syarat bakal calon wakil presiden pendamping Jokowi dan Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
“Sebesar 22,5 persen Jokowi dinilai cocok dengan wakil dari kalangan militer, ketimbang opsi dari kalangan sipil yang hanya memiliki persentase 1,9 persen,” urai Direktur Indo Barometer M Qodari di Hotel Atlet Senayan, Jakarta, Minggu (3/12).

Dengan demikian lanjut dia, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pun muncul dan bersaing ketat dengan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

“AHY dinilai cocok, dengan 17,1 persen, ditempel Jenderal Gatot 15,9 persen. Lalu ada Pak Ridwan Kamil 9,5 persen, dilanjut eks Panglima TNI Moeldoko 3,0 persen,” utai Qodari.

Sebaliknya, lanjut dia jika Prabowo dinilai lebih cocok dengan wakil kalangan sipil, ketimbang militer.

“Syarat cawapres Prabowo dari sipil di angka 20,5 persen, ketimbang sama-sama dari militer hanya 0,9 persen,” jelas Qodari.

Dalam hal ini responden menilai, jika Prabowo cocok jika disandingkan dengan nama-nama seperti Anies Baswedan, Sohibul Iman, dan Zulkifli Hasan.

“Bila dipasangkan dengan Anies, persentasenya 22,5 persen, Sohibul Iman 4,2 persen, dan Zulkifli Hasan 0,1 persen,” terang dia.

Survei sendiri kata dia berlangsung pada 15 hingga 23 November 2017 lalu, dimana sebanyak 1.200 responden yang berumur 17 tahun dan sudah menikah diikutsertakan pada survei yang dihimpun dari 34 provinsi di Indonesia.

Survei ini memakai metode multistage random sampling, dengan margin of error 2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Upaya Lepas dari Bayangan Jusuf Kalla (JK)

Aksi damai yang digelar oleh jutaan Umat Islam sebagai reaksi dari pernyataan petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok jelang Pilgub DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan aksi 411 dan 212 untuk menuntut agar aparat kepolisian memproses tindakan mantan Bupati Belitung Timur yang dinilai sudah melakukan tindakan penistaan agama terhadap ayat suci Al-Quran.

Aksi tersebut dianggap sebagai pukulan telak bagi calon yang diusung PDIP, sehingga membuat partai berlambang banteng kian terpojok hingga berujung masalah tersebut masuk dalam ranah pengadilan, sehingga muncul nama Anies Baswedan sebagai pemenang di Pilgub DKI dan kemudai terpilih sebagai Gubernur DKI.

Sejumlah spekulasi pun bermunculan atas terpilihnya Anies Baswedan sebagai Gubernur yang disebut tidak terlepas dari campur tangan seorang Jusuf Kalla (JK).

Saat itu ada pandangan jika JK mampu membaca situasi politik yang ke depannya tentu saja menguntungkan bagi dirinya.

Di tengah keterpurukan kepopuleran JK di kabinet kerja. Keterpurukan tersebut terlihat saat direshufflenya sejumlah menteri yang notabenenya sebagai orang dekat JK.

Bahkan, sesuai kabar yang beredar di media jika JK bereaksi dan sempat mempertanyakan kepada Presiden atau keputusannya mencopot Anies dari posisinya sebagai Menteri Pendidikan. Padahal, sebelumnya saat Jokowi mencopot Sudirman Said, Ferry Mursyidan Baldan, Yuddy Crisnandi, JK tak bereaksi sama sekali.

Pasca aksi damai bela Islam itu, JK diketahui menyodorkan nama Anies Baswedan kepada Partai Gerindra yang saat itu belum memberikan rekomendasi resmi kepada Sandiaga Uno.

JK bahkan turun langsung berkomunikasi dengan mantan Danjen Kopassus Prabowo yang juga sebagai Ketum Gerindra, serta memberikan masukan atas pilihan terbaik pada kontestasi di Pilgub DKI ini.

Atas moment ini, Hendrajit pun menyebut jika JK telah keluar dari skema kerja sama dengan Megawati dan Jokowi, maka JK belum tentu bisa mengarahkan dinamika politik yang berlangsung nantinya.

Sebagai orang yang ikut memotori pencalonan Anies sebagai Gubernur (Kingmaker) tentunya berupaya menjadikan peran Anies Baswedan sebagai alat tawar untuk kepentingannya di 2019 nanti.

“Sekarang tentunya tinggal menungggu langkah kuda dari JK, melawan skema rancangan yang dibuat Megawati dan PDIP ini, dengan menggalang formasi baru di luar skema Mega-Jokowi, atau justru menerima nasib (ikuti arus permainan yang dilakukan Megawati),” ujar Hendrajit.

“Atau langkah indah lagi, yakni kalau Pak JK dan Pak Prabowo Subianto sama-sama sepakat menjadi Kingmaker di Pilpres 2019 dengan memunculkan sosok baru dengan kualitas dan berintegritas tinggi bahkan menjadi antitesa Jokowi sebagai pilihan lain pimpinan nasional,” ujarnya.

Ini Dia Kingmaker Pesaing Jokowi
Kata Kingmaker atau pencetak pemimpin terus menjadi salah satu isu pembahasan jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 nanti. Kata itu lebih dilekatkan kepada Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sudah dua kali mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Kendati demikian ada yang menarik dari perjalanan politik Prabowo Subianto, keberhasilan Prabowo melalui Gerindra dalam memilih dan mencalonkan pemimpin kepala daerah, seperti di DKI Jakarta menambah panjang nilai plus tersendiri bagi sang Jenderal Bintang Tiga tersebut.

Meski belum adanya deklarasi pencapresan Prabowo Subianto, tetapi semua kader partai berlambang kepala burung garuda menyerahkan sepenuhnya kepada si empunya partai.

Termasuk, apakah akan mengambil sikap untuk maju kembali sebagai calon presiden di 2019 seperti yang diminta seluruh kader yang tertuang dalam hasil keputusan Rakernas pada Oktober 2017, atau justru mencalonkan kader muda yang dinilai memiliki potensial untuk bertarung di Pilpres nanti.

Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan kepiawaian Prabowo Subianto dalam mencetak pemimpin tidak hanya terlihat dari diusungnya Anies Baswedan, melainkan sejak Pilkada DKI Jakarta 2012 yang ketika itu Gerindra membawa sosok seorang Joko Widodo ke Ibu Kota.

“Kingmaker itu sesuatu yang posititf, tetapi jangan salah, Jokowi itu dulu yang mengusung Pak Prabowo (Pilkada 2012), dimana ketika itu PDIP sudah ada putusannya untuk mengusung Fauzi Bowo, dan ketika itu Pak Prabowo datang ke Bu Mega agar membatalkan dukungan PDIP dan mengusung Jokowi, dan keputusan itu dilakukan. Sehingga bergandenglah Gerindra dengan PDIP,” kata Desmond saat dihubungi aktual.com, Senin (26/2).

“Tentunya, kader menyerahkan sepenuhnya pada keputusan Pak Prabowo, apapun keputusan Pak Prabowo dengan wacana yang ada soal Pak Prabowo mengetahui memilih kader potensial dan baik, tentunya pilihan itu tidak salah kan. Kader muda di Gerindra itu di internal ada Anies Baswedan, walaupun secara diam-diam belum masuk partai, dari hasil survei juga bisa dilihat sosok Gatot Nurmantyo dan kemudian bila dipasangkan Anies-Gatot, memang, dan bisa saja Pak Prabowo memasangkan mereka, bisa juga Tuan Guru Bajang yang dimajukan. Intinya bagi Pak Prabowo menyadari kapasistas dan kredibilitas beliau tinggal maunya apa, dan semua masih ada waktu,” papar Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu.

Sementara itu, Aktivis Pergerakan yang juga Inisiator Garuda Nusantara (GN) Center Andrianto menyarankan supaya Prabowo Subianto menempatkan diri sebagai guru bangsa yang negarawan dalam rangka mencetak seorang pemimpin yang benar-benar dibutuhkan rakyat Indonesia kedepannya.

Apalagi, sambung dia, Prabowo sangat mengetahui kondisi Indonesia yang saat ini tengah diambang kebangkrutan.

“Di tengah situasi dan kondisi saat ini, dan elektabilitas Jokowi masih dalam tahap rendah menjadi peluang bagi figur baru yang fresh dan memiliki trackrecord baik untuk kemudian menjadi calon Presiden alternatif bagi rakyat Indonesia,” kata Andrianto saat dihubungi aktual.com.

“Mereka calon presiden alternatif itu, seperti Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Rizal Ramli, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dan dari keempat nama yang ada dan bila resmi diusung maka haqul yakin akan mendapatkan apresiasi baik dari publik. Bila Prabowo mengusung dari keempat nama itu, itu yang diharapkan publik,” ujarnya.

Muncul Wacana Jokowi-Prabowo

Ada sejumlah hal menarik dari hasil survei SMRC yang berlangsung pada Desember 2017 itu. Diantaranya munculnya pertanyaan apakah responden setuju atau tidak Jokowi dan Prabowo bersatu pada Pilpres 2019?
Hasilnya sebanyak 66,9 persen menunjukan jika responden menyatakan persetujuannya.

Seperti disampaikan oleh Direktur Utama SMRC Djayadi Hanan di Jakarta, Selasa (2/1).

Sedangkan 28,4 persen responden menyebut ketidaksetujuannya jika Jokowi bersanding dengan Prabowo. Sementara sisanya yakni 4,7 persen lainnya mengatakan tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Kemudian responden menyebut siapa yang ideal untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden bila Jokowi dan Prabowo bersanding di Pilpres 2019, 66,9 persen menilai Jokowi layak jadi presiden dan Prabowo jadi wakilnya. Sementara sebanyak 28,4 persen menyatakan Prabowo sebaiknya menjadi presiden dan Jokowi menjadi wakil presiden. Sisanya 4,7 persen responden tidak menjawab atau tidak tahu.

Sementara hal yang menarik lainnya, pada survei ini tiba-tiba juga muncul nama AHY, di luar nama Prabowo sebagai calon pendamping Jokowi, dan nama Jusuf Kalla masih menjadi yang terdepan. Sebanyak 14,1 persen responden memilih Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019. Tempat kedua ada nama putera pertama Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dengan persentase 12,7 persen.

Menurut Djayadi munculnya nama AHY tidak terlepas dari sosoknya yang populer saat dirinya maju bertarung di Pilgub DKI Jakarta tahun lalu. Di bawah AHY, ada nama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dengan persentase 12,2 persen.

Sedangkan nama-nama lainnya seperti Hary Tanoesudibjo, Wiranto, Sri Mulyani ada di bawah 10 persen. Survei SMRC dilakukan dengan wawancara lapangan pada 7-13 Desember 2017. Jumlah responden sebanyak 1.059 orang di 34 provinsi dengan margin of error sebesar 3,1 persen.

Penantang Kuat Jokowi
Siapa penantang Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang? Survei LSI Denny JA memperlihatkan jika Prabowo masih jadi calon terkuat sebagai pesaing Jokowi.

Menurut dia, survei membagi Capres penantang Jokowi dalam tiga divisi berdasarkan popularitas. Popularitas dinilai penting karena menjadi modal awal para tokoh untuk bertarung, yakni :
Divisi 1 untuk Capres yang popularitasnya di atas 90 persen. Dari nama-nama yang akan bertarung, hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam Divisi 1 dengan tingkat popularitas Prabowo mencapai 92,5 persen.

“Penantang Divisi 1 hanya ditempati satu tokoh saja yaitu Prabowo Subianto, sepi,” ungkap Adjie.

Divisi 2 adalah kelompok untuk Capres dengan popularitas antara 70-90 persen. Tokoh yang masuk dalam Divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Popularitas Anies Baswedan sebesar 76,7 persen dan AHY sebesar 71,2 persen.

“Riuh Pilkada DKI tahun lalu menjadi panggung nasional bagi dua tokoh ini,” jelas Adjie.

Sementara Divisi 3 merupakan kelompok capres yang popularitasya antara 55-70 persen. Adapun tokoh yang memenuhi kriteria ini hanya Gatot Nurmantyo dengan popularitas 56,5 persen.

Sayangnya sejak tak lagi menjadi Panglima TNI, kiprah Gatot semakin memudar. “Padahal penonton masih rindu dan bertepuk tangan menanti atraksinya,” jelas Adjie.

Ogah Pilih Jokowi, 32,4% Warga Ingin Pemimpin Baru

Sementara berdasarkan hasil survei terbaru Political Marketing and Consulting (PolMark), disebutkan sebanyak 32,4% responden mengaku jika pada Pilpres 2019 mereka tidak akan memilih Jokowi untuk peride yang kedua, mayoritas responden menginginkan adanya pemimpin baru di Indonesia.

Survei ini dilakukan terhadap 2.250 responden yang ada di 32 provinsi dan berlangsung pada 9-20 September 2017 dengan metode multi stage random sampling dengan margin of error +/- 2,1%.

“Dari 32,4% yang tidak (akan) memilih Jokowi pada 2019, (sebanyak) 25,3% mengatakan menginginkan pemimpin yang baru,” ungkap Direktur Polmark Indonesia Eep Saefullah Fatah di Batik Teras Kuring, SCBD, Jakarta, Minggu (22/10).

Sementara sebanyak 16,8% warga mengatakan Jokowi sebagai sosok yang kurang tegas. Kemudian 15,% lainnya mengatakan belum melihat perubahan dari bangsa saat ini.

“Lalu 10,5% mengatakan bahwa perekonomian masyarakat buruk, dan 5,5% menyebut tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi,” jelas Eep.

Tetapi lanjut Eep ada 3,6% masyarakat dari persentase yang tidak akan memilih Jokowi pada 2019 memberi alasan jika mereka lebih percaya kepada Prabowo. Dan hanya 0,1% responden yang mengemukakan alasan jika dirinya tidak memilih Jokowi pada 2019 karena Jokowi dinilai berbau PKI, beda suku, dan penampilan kurang menarik. (Ijal dan Dedy).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs