Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Mensesneg Pratikno (kanan) berdiskusi dengan Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU) Maruf Amin (kedua kiri) saat pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/3). PBNU melaporkan bahwa NU akan mengadakan International Summit of The Moslem Moderate Leader (pemimpin-pemimpin Islam Mederat seluruh dunia) pada 9-11 Mei 2016. Konferensi tersebut untuk menyamakan persepsi terhadap pemberantasan radikalisme dan terorisme. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/kye/16

Jakarta, Aktual.com – Setelah drama yang cukup panjang, akhirnya Jokowi mendapatkan pasangan yang digandeng untuk Pilpres 2019 kelak. Ma’ruf Amin, Ra’is Aam Syuriah PBNU, sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, MUI menjadi sosok yang membuat Jokowi memutuskan menambatkan pilihan akhir padanya. Pilihan tersebut sangat rasional mengingat koalisi memerlukan sosok yang mampu mengikat semuanya atau setidaknya meminimalisir perpecahan koalisi.

Alasan lain tentu jelas ada, sesuai dengan saran yang diberikan oleh CSIS kepada Jokowi sebagai salah satu lembaga think tank-nya, mengapa harus Ma’ruf Amin. Jokowi setidaknya harus mampu untuk meminimalkan kegaduhan yang akan berakibat pada krisis ekonomi dan instabilitas pembangunan nasional hingga akhirnya berdampak kuat pada penggantian Jokowi 2019.

Sosok Ma’ruf Amin sebagai tokoh sentral muslim terutama nahdiyin, akan mampu mengikis arus besar isu identitas yang selama ini terbangun, tepatnya sejak gaya Ahok yang kontroversial dipandang masyarakat luas. Mau diakui atau tidak Ahok terlalu sering mengumbar frame rasial, atau isu identitas dalam setiap agenda pemerintahnya.

Kembali pada sosok Ma’ruf Amin, pilihan Jokowi. Harus diakui dengan keberadaan beliau di sisi Jokowi jelas menghilangkan frame Islamophobia Pemerintah yang selama ini muncul. Munculnya frame tersebut tidak lain akibat upaya Pemerintah dalam mengendalikan gejolak sosial, akan tetapi justru dianggap sebagai sikap ketidaksukaan Pemerintah terhadap gerakan islam.

Misalnya dengan upaya membatasi peran ulama dalam mengingatkan, mengkritisi Pemerintah dan dalam kehidupan sosial politik bermasyarakat; atau sikap acuhnya Pemerintah dari berbagai kasus “kriminalisasi” para ulama beberapa waktu lalu; bahkan dari bahasa-bahasa keberpihakan Pemerintah dari sekian banyak aksi besar umat islam dan aksi-aksi tandingannya. Seluruh hal tersebut dan hal lain yang tidak perlu disebutkan, mencakup gambaran Islamophobia Pemerintah sirna begitu Ma’ruf Amin menjadi Cawapres pilihan pendamping Jokowi. Sayangnya pilihan tersebut pun menjadi boomerang bagi Jokowi.

Jokowi dianggap ketakutan akan turun-(drastis)-nya elektoral pemilihan kelak hingga akhirnya memilih ulama untuk menyelamatkan ceruk umat islam. Ketakutan dan kepanikan Jokowi melebihi batas hingga akhirnya “menjilat ludah sendiri”. Jokowi pun dianggap sebagai Presiden yang berhasil membangun negara hanya dengan gelembung-gelembung citra yang dikemas semenarik mungkin.

Namun keberhasilan tersebut nyatanya kosong dengan realita keadaan ekonomi negara yang mengkhawatirkan. “Saking” mengkhawatirkannya, membuat buta arah hingga apa saja dilakukan asal selamat, asal dua periode, asal menang, yang penting asal semua jadi halal. Asal-asalan ini dipastikan akan berdampak pada ketidakseriusan Jokowi berkaitan keberpihakan terhadap umat sekalipun menggandeng ulama tersohor. Miris.

Meski dianggap menyelesaikan satu masalah, di sisi lain sebenarnya Jokowi telah menggarami luka para Ahokers. Bagi para pengguna sosial media dan pengamat politik pun mengetahui betul, Ahokers sejati telah menyematkan list hitam kepada beberapa nama yang jelas-jelas berperan dan berpengaruh terseretnya Ahok ke dalam “tahanan” Mako Brimob.

Jelas salah satunya adalah beliau yang baru-baru ini mengaku (dalam statement terbarunya) “menggerakkan” aksi 212, beliau yang dipilih Jokowi sebagai pendamping. Entah badai apa yang menimpa para Ahokers, terpilihnya Ma’ruf Amin lebih mengejutkan bagi mereka dibandingkan ekspresi umat islam sendiri. Bahkan riset terbaru dampak pemilihan Ma’ruf Amin tidak meningkatkan elektabilitas Jokowi yang masih anjlok.

Saran saya untuk para Ahokers sejati maupun karbitan jelas, yang sabar saja. Sejenak matikan dulu sosial media kalian, bisa jadi nanti Jokowi akan mampu menenangkan hati kalian dengan cara yang sama, bisa jadi mengangkat Ahok sebagai menteri, menko atau pengganti wapres nantinya, bisa jadi. Hal tersebut tentunya terjadi jika Jokowi terpilih kembali 2019. Semangat dan selamat teman!

Oleh: Barri Pratama (Wakil Ketua Umum PP KAMMI 1
(2017-2019)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dadangsah Dapunta