Marco Kartodikromo (Foto: Istimewa)

Jurnalis Indonesia masa sekarang mungkin jarang yang mengetahui nama Marco Kartodikromo, yang dikenal juga dengan nama pena Mas Marco. Padahal Marco adalah tokoh jurnalis yang juga aktivis pergerakan, yang terkenal di zaman penjajahan Belanda. Marco adalah tokoh yang vokal dalam mengritik kolonial Belanda melalui tulisan-tulisannya.
Lahir pada 1890 dari keluarga golongan priayi berpangkat rendah di Blora, Jawa Tengah, pekerjaan pertama Marco pada usia 15 tahun adalah di perkeretaapian nasional Hindia-Belanda. Pada 1911, ia memilih meninggalkan perusahaan itu karena muak dengan kebijakan rasis, yang menggunakan ras sebagai dasar untuk jumlah upah yang dibayar.
Pada tahun itu pula, ia pindah ke Bandung dan menjadi wartawan di Medan Prijaji, yang dikelola tokoh pergerakan Tirto Adhi Soerjo. Sesudah media itu ditutup oleh Belanda, Marco pada 1912 pindah ke Surakarta dan bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi pedagang Muslim, dan mendapat pekerjaan di Sarekat Islam yang didukung media Saro Tomo.
Pada 1914 ia memimpin majalah Doenia Bergerak. Majalah ini adalah corong Grup Wartawan Lokal Indonesia (Inlandse Journalisten Bond), yang dipimpin Marco dan dalam perintisannya dibantu oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo. Marco menulis berbagai tulisan yang kritis yang melawan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya, Marco pun ditangkap. Dia dihukum karena aktivitas revolusioner dan dikenai sembilan bulan di penjara Mlaten. Namun, karena kemarahan publik, Marco lalu dibebaskan setelah 100 hari. Ketika Doenia Bergerak bangkrut, Marco kemudian memimpin Saro Tomo.
Marco lebih suka menulis dalam bahasa Melayu daripada bahasa Jawa asalnya. Ia bereksperimen dengan frasa-frasa baru, justru ketika penerbit milik negara, Balai Pustaka, berusaha membakukan bahasa Melayu. Selain menulis berita atau editorial, Marco juga menulis kisah-kisah fiksi.
Pendidikan Barat yang ditempuh Marco lebih rendah dibandingkan pemimpin-pemimpin pergerakan lainnya, yang lulusan ELS, HBS, atau Stovia. Akibatnya, mereka mampu berbicara dalam bahasa Belanda dan terampil menuangkan ide-ide dalam bahasa Belanda. Sebaliknya, tulisan-tulisan Marco –yang hanya memperoleh pendidikan Sekolah Dasar Umum Angka Dua di Bojonegoro– kebanyakan hanya menggunakan bahasa Melayu bercampur Jawa.
Menurut kritikus sastra sosialis, Bakri Siregar, Marco adalah penulis Indonesia pertama yang secara terbuka mengritik pemerintah kolonial Belanda dan perilaku feodalisme tradisional yang ada saat itu. Marco juga adalah penulis Indonesia pertama yang secara sadar menggambarkan perjuangan kelas dalam karya-karyanya. Siregar menganggap Marco sebagai sastrawan Indonesia yang lahir dari pemahaman nasionalis.
Sedangkan Hendrik Maier, dosen di Universitas Leiden, menulis bahwa Marco “terutama terinspirasi oleh mimpi dan cita-cita.” Maier menilai bahwa tulisan-tulisan Marco dimaksudkan untuk menciptakan sebuah komunitas sadar politik Indonesia, untuk bekerja melawan pemerintah kolonial dalam semangat solidaritas dan kesetaraan. Tulisan Marco mencita-citakan keadaan politik yang ideal, yang memahami “sama rata sama rasa” (standar yang sama, perasaan yang sama).
Atas berbagai kritik vokal Marco, pemerintah kolonial Belanda mencela dia sebagai orang “gila”yang bisa memicu kerusuhan antara penduduk asli. Marco sendiri tampak menikmati untuk memancing kemarahan pemerintah kolonial. Ia mengundang para pembacanya untuk bekerja sama, dan mengritik Belanda karena mereka “salah urus dan plin-plan”.
Marco dipilih oleh Goenawan, pemimpin redaksi harian Pantjaran Warta, untuk pergi ke Belanda sebagai koresponden. Dalam lima bulan itu, pada akhir 1916 dan awal 1917, ia menerbitkan Boekoe Sebaran Jang Pertama. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi editor untuk Pantjaran Warta dan berkantor di Batavia (sekarang Jakarta).
Tapi dalam sebulan, ia sudah dipenjarakan lagi karena tulisannya. Pada 21 Februari 1918, Marco dibebaskan dari penjara. Dia pindah ke Semarang dan menjadi komisaris Sarekat Islam bersama Semaun. Ia juga bergabung dengan surat kabar Sinar Djawa (kemudian Sinar Hindia). Dalam konferensi tahun itu, Marco menyatakan, ada dua jenis pers di Indonesia: “pers hitam” (pers item) yang berjuang melawan imperialis Belanda; dan “pers putih” yang bekerja untuk menaklukkan rakyat Indonesia.
Marco sempat terlibat dengan Partai Komunis Indonesia. Setelah pemberontakan komunis yang gagal pada 1926, ia dibuang ke kamp penjara Boven-Digoel di Papua. Marco meninggal di kamp tersebut karena penyakit malaria pada 18 Maret 1932.
Marco membangun aktivitas politik pada zaman kemerdekaan tidak melalui jenjang pendidikan sekolah sebagaimana lazimnya pemimpin pergerakan lainnya. Marco membangun aktivitas politik melalui dua hal: pers dan penjara.
Marco memilih pers justru karena bidang tersebut pada saat itu memiliki kebebasan yang sangat terbatas dari pemerintah kolonial. Namun di tangan Marco, pers kemudian terbukti telah menjadi alternatif yang sangat penting sebagai sarana pergerakan. ***

E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: