Mendikbud Muhadjir Effendy mengikuti rapat kerja dengan Komite III DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (31/1). Raker itu membahas persiapan pelaksanaan ujian nasional dan program kerja Kemendikbud tahun 2017. ANTARAFOTO/Wahyu Putro A/pd/17

Jakarta, Aktual.com – Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU), menolak Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang menerapkan perpanjangan jam sekolah dasar dan menengah atau yang biasa disebut sebagai “full day school”.

Dari wacana yang beredar, full day school (FDS) akan diterapkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, tak terkecuali ribuan sekolah atau madrasah yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.

Sebagai departementasi bidang pendidikan di Nahdlatul Ulama yang memiliki 12.780 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, LP Ma’arif NU menilai gagasan sekolah sehari penuh atau full day school (FDS) harus didahului dengan kajian yang matang dan utuh. Pasalnya, dalam kondisi satuan pendidikan yang masih di bawah standar dan sekolah ramah anak belum berjalan dengan baik, maka gagasan FDS tidak akan berjalan efektif.

“Selain itu, keragaman kondisi peserta didik, orang tua, dan masyarakat sudah terfasilitasi dengan model pembelajaran yang beragam, ada yang reguler/normal dan ada yang sehari penuh sehingga orang tua diberikan keleluasaan untuk memilih. Bahkan dalam kondisi tertentu anak tidakperlu berlama-lama di sekolah, agar cepat berinteraksi dengan orang tua dan lingkungan sekitar, apalagi yang masih di tingkat dasar,” ujar Ketua PP LP Ma’arif NU, Z. Arifin Junaidi dalam pernyataan sikapnya, Jakarta, Rabu (14/6).

LP Ma’arif NU menilai, Kurikulum 2013 telah mengedepankan nilai-nilai pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Mestinya, kata dia, kurikulum 2013 ini dikembangkan dalam penguatan karakter peserta didik, bukan penambahan jam belajar.

Selain itu, kurikulum 2013 tidak menganut dikotomi antara ilmu dan akhlak. Sebab, semua bidang ilmu yang diajarkan dari pagi hingga jam pulang sekolah dengan bobot nilai agama yang dikedepankan terlebih dahulu.

“Kalau ini didukung dan dimaksimalkan jauh lebih memberi nilai positif ketimbang FDS yang digagas oleh Mendikbud,” katanya.

Ia menambahkan, Alasan FDS karena anak-anak kota sehari penuh ditinggalkan oleh orang tuanya sehingga khawatir dengan pergaulan bebas yang bisa menjerumuskan peserta didik ke hal-hal negatif juga tidak sepenuhnya benar, karena kota-kota besar di Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi, nilai-nilai, dan pendidikan agama yang sudah berlangsung selama ini.

“Tidak semua orang tua peserta didik bekerja sehari penuh, utamanya mereka yang dipelosok bekerja sebagai petani dan nelayan yang separuh waktu dalam sehari tetap bersama dengan putera-puteri mereka,”

“Belajar tidak selalu identik dengan sekolah. Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter sehingga mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini,” tambahnya.

Berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan tersebut, kata Arifin, maka LP Ma’arif NU menyatakan menolak penerapan FDS.

 

Laporan Nailin Insaroh dan Agustina Permatasari

Artikel ini ditulis oleh: