Jakarta, Aktual.com – PT Pertamina (Persero) berharap PT Bumi Sarana Migas (BSM)menuntaskan pembangunan proyek LNG (Gas Alam Cair) Receiving Terminal di Bojonegara, Banten, Jawa Barat sebagaimana HoA yang telah ditandatangani sejak tahun 2015.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro mengatakan infrastruktur terminal tersebut memiliki makna yang penting bagi bisnis Pertamina untuk memasok gas di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.

“Seiring dengan pertumbuhan industri dan pembangkit listrik di wilayah tersebut, Land Based Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG di Banten ini menjadi penting untuk direalisasikan, tentu saja dengan jaminan operasi yang ekonomis dan efisien,” kata Wianda secara tertulis, di Jakarta Senin (16/1).

Sebagaimana diketahui, pada 1 April 2015, Pertamina dan anak perusahaan Kalla Group (PT BSM), telah menandatangani Pokok-Pokok Perjanjian (HoA) pemanfaatan LNG Receiving Terminal Bojonegara.

Saat itu, Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto berharap BSM bisa tepat waktu dalam menyelesaikan proyek pembangunan terminal tersebut dalam jangka waktu tiga tahun sesuai dengan kesepakatan bersama yang ditargetkan selesai pada 2019.

“Untuk pemanfaatan energi bahan bakar gas, maka infrastruktur menjadi persyaratan utama. Karena jika infrastruktur sudah terpasang maka akan tercipta demand. Dengan proyek ini akan diikuti dengan pembangunan power plant sebagai kekuatan kita untuk membangun industri energi gas di wilayah Jawa Bagian Barat,” ungkap Dwi Soetjipto.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur PT Bumi Sarana Migas, Solihin Jusuf Kalla menanggapi, pihaknya akan memegang komitmen secara profesional sesuai kesepakatan.

“Mudah-mudahan kita bisa penuhi proyek ini dalam jangka waktu 3 tahun yaitu pada tahun 2019 akan se­lesai. Sehingga bisa bersama-sama membangun industri gas di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Bagian Barat. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh Pertamina kepada Bumi Sarana Migas,” kata Solihin.

Sementara pada Oktober 2016, Vice President of the Liquefied Natural Gas ( LNG) PT Pertamina, Didik Sasongko Widi memperkirakan proyek itu mengalami keterlambatan penyelesaian dari waktu yang disepakati.

Menurut Didi, keterlambatan ini disebabkan faktor internal konsorsium yang masih menemukan permasalahan, namun dia tidak bersedia menjelaskan lebih detail mengenai permasalahan yang ia maksud tersebut.

“Kita masih berusaha untuk diselesaikan 2019 akhir, tapi kalau saya ditanya, saya jawab 2020. Itu terkesan agak mundur karena sekarang ada ketidakpastian. Ini harusnya sudah pertengahan tahun kepastian tersebut, karena masih ada isu-isu internal antara joint venture sehingga ini mundur. Tapi sepertinya kemungkinan masih bisa 2019,” ujarnya, Minggu (9/10)

Sementara Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Noviandri menyampaikan dua kekhawatirannya atas kerjasama ini. Yakni pertama mengenai margin angka penjualan gas yang diambil oleh Pertamina sebagai off taker dari terminal tersebut. Noviandri memandang, jika harga ditentukan secara sepihak oleh operator, dikhawatirkan akan menjadi beban bagi Pertamina.

Adapun hal berikutnya; dia tidak ingin perusahaan BUMN itu mengalami ketergantungan persediaan gas dari terminal itu. Dia menginginkan Pertamina memiliki fleksibilitas dalam menjalankan bisnis gas untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia.

“Tapi yang menjadi kekhwatiran kami, Pertamina terikat harga yang ditentukan sepihak, itu berbahaya. Kemudian jangan sampai Pertamina mengalami ketergantungan terhadap produsi pasilitas terminal itu,” katanya kepada Aktual.com, Rabu (28/12).

Selanjutnya jika ditinjau dari sudut lain, berdasarkan pengakuan juru bicara PT BSM, Nanda Sinaga, ketertarikan Kalla Group dalam membangun proyek ini diawali oleh data Kementerian ESDM dan kajian Wood MacKenzie (Konsultan) mengenai Outlook Suplai Gas tahun 2013 – 2030.

Data tersebut menunjukan bahwa Jawa bagian Barat akan mengalami defisit neraca gas yang disebabkan oleh berkurangnya dan akan habisnya (depletion) cadangan gas dari Sumatera serta meningkatnya permintaan akan kebutuhan gas.

Setelah melalui diskusi dan kajian bisnis di internal, Kalla Group memutuskan untuk menunjuk salah satu Konsultan Teknik dari Jepang dalam merancang bangun Terminal Regasifikasi LNG melalui studi kelayakan pendirian Terminal Regasifikasi LNG.

Kemudian dari hasil kajian itu menunjukan bahwa lokasi tersebut sangat ideal untuk dimanfaatkan sebagai Terminal Regasifikasi LNG di Darat (Land-Based Regasification Receiving LNG Terminal).

Atas dasar kajian tersebut, Kalla Group mencari partner untuk pembangunan proyek ini sehingga terbangun kesepakatan pada awal tahun 2015 dengan partner dari Jepang yang dinilai berpengalaman dalam pengelolaan Terminal LNG dan distribusi gas.

“Proyek Terminal Regasifikasi LNG Darat dengan investasi sekitar Rp10 Triliun ini sepenuhnya akan dibiayai oleh pemenuhan modal pemegang saham serta pinjaman dari Lembaga Keuangan Jepang, yang terdiri dari Lembaga Keuangan Pemerintah Jepang dan Perbankan Jepang,” tandasnya.

Berkaitan dengan kepentingan Pertamina mendorong pembangunan terminal LNG ini, Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, Faisal Basri yang juga merupakan Ekonom Universitas Indonesia (UI) menuturkan bahwa perusahaan plat merah itu telah terlanjur melakukan penandatanganan impor LNG.

Sedangkan infrastruktur Pertamina dalam bisnis gas belum memadai, dan kalah dengan infrastruktur milik PT PGN, jika pembangunan fasilitas terminal LNG tersebut mengalami kendala, Pertamina akan menderita kerugian akibat gas yang tak bisa terserap oleh konsumen faktor minimnya
Infrastruktur.

Bukan hanya itu, Faisal mensinyalir kepanikan Pertamina tersebut diiringi bisikan Wood Mackenzie untuk mendorong inisiatif holding dengan mencaplok PGN dan menguasai infrastruktur yang ada.

“Bisa saya tunjukkan ternyata Pertamina telah meneken kontrak impor 6 juta ton LNG pertahun, belum yang di jajakin 10.5 juta. Itu hampir bisa dipastikan pertamina akan rugi karena pengaruh harga. Jadi ada jutaan gas yang sudah dikontrak, kalau tidak diserap dalam negeri akan terasa berat. Supaya mengurangi resiko itu, ya sudah, PGN dikuasai supaya ada dalam satu komando untuk menyelamatkan kontrak peratmina itu,” tandas Faisal

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka