Sejumlah petani Telukjambe kembali melakukan aksi kubur diri di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/5/2017). Aksi tersebut dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemerintah terkait konflik agraria di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. AKTUAL/Munzir

Palembang, Aktual.com – Aktivis peduli lingkungan di Provinsi Sumatera Selatan menilai penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam di daerah dengan 17 kabupaten dan kota itu berjalan lamban.

Berdasarkan data, konflik agraria dan sumber daya alam di provinsi ini terus bermunculan, sementara kasus lama masih banyak yang belum diselesaikan dengan baik, kata aktivis lingkungan Perkumpulan Tanah Air (Peta) Sumsel Syarifudin Kobra, di Palembang, Selasa (30/5).

Dia menjelaskan, berdasarkan catatan Peta dan aktivis lingkungan lainnya, seperti Walhi, WRI Indonesia, Spora Institute Lingkar Hijau, Pilar Nusantara, konflik agraria terus bermunculan di setiap kabupaten dan kota. Daerah yang paling banyak terjadi konflik itu yakni Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.

Konflik agraria di provinsi ini terus bermunculan karena tidak diimbangi kemampuan pemerintah daerah untuk mencegah, menangani, dan menyelesaikan konflik tersebut, katanya pula.

Konflik agraria di wilayah Sumsel terus meningkat dan sering memicu terjadi bentrokan yang mengakibatkan korban jiwa atau luka-luka serta kerugian harta benda.

Keadaan tersebut memerlukan perhatian bersama dan dicarikan solusi yang tepat, sehingga kasusnya tidak terus bertambah dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam upaya untuk mencegah terus berkembang konflik agraria itu, pihaknya mengajak semua lapisan masyarakat memperjuangkannya kepada pemerintah daerah dan pusat agar konflik yang terkesan tidak pernah habis itu bisa lebih fokus ditangani, kata Syarifudin.

Sebelumnya, praktisi hukum Sri Lestari Kadariah SH dalam acara diskusi bersama aktivis lingkungan menjelaskan pengalamannya mendampingi masyarakat Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir yang berkonflik dengan perusahaan besar pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) terjadi sejak 2013 hingga kini belum berakhir.

Latar belakang konflik itu, PT BMH pemegang izin IUPHHK-HTI atas kawasan hutan produksi yang terletak di Kelompok Hutan Sungai Simpang Heran hingga Sungai Beyuku I, Kabupaten Ogan Komering Ilir, berdasarkan SK Menhut No: SK.338/Menhut- II/2004 Tanggal 7 September 2004 sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Menhut No: SK.417/Menhut-II/2004tanggal 19 Oktober 2004 dan diberikan hak atas areal IUPHHK-HTI seluas 250.370 ha.

Dampak diberikan izin kepada PT BMH itu, lahan milik masyarakat Desa Riding seluas 10.000 ha yang selama ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengembalakan kerbau (kerbau rawa), mencari ikan (tapa, baung, patin, gabus, betok, sepat), memanfaatkan kayu gelam, bertanam padi sonor (padi yang ditebar pada saat keadaan lahan mengering) dikuasai perusahaan itu.

Perusahaan itu melakukan pembersihan lahan (land clearing) milik masyarakat untuk pembuatan kanal.

Namun atas aktivitas PT BMH itu, masyarakat bereaksi menghentikan pengoperasian alat berat, menyandera pegawai perusahaan, unjuk rasa ke perusahaan, pemkab, Pemprov Sumsel, DPRD kabupaten setempat, dan Komnas HAM.

Dengan terjadi konflik itu dan untuk mengatasinya, pihak perusahaan dengan masyarakat membuat surat pernyataan bersama penyelesaian konflik pada 12 Juli 2013.

Upaya penyelesaian konflik itu berlarut-larut hingga 2017 ini, karena tidak terjadi kesepakatan antara masyarakat Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ili dan PT BMH, dengan upaya terakhir yang difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 7 Oktober 2016.

Gambaran penyelesaian konflik yang cukup panjang itu memerlukan pemikiran bersama dan tindakan yang tepat, sehingga tidak berlarut-larut dan muncul kasus baru, kata dia pula. (ant)

Artikel ini ditulis oleh: