Jakarta, Aktual.com – Mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, menyebut kebijakan Master of Settlement Agreement Acquisition (MSAA), salah satu syarat agar obligor mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), merupakan keputusan politis.

Begitu ia sampaikan usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim, pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (26/7).

“Pada waktu itu kita mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan kita juga masih kacau. Jadi, secara politik diputuskan out of court settlement. Makanya dibuat MSAA,” papar Sukardi.

Lebih lanjut ia terangkan, waktu mandat presiden dipegang Megawati Soekarnoputri pemerintah memutar otak supaya para obligor bisa segera mengembalikan BLBI yang mereka terima. Dimana, salah satu upayanya adalah kebijakan MSAA.

Meski begitu, upaya pemerintah menarik BLBI yang sudah dikeluarkan harus diimbangi dengan adanya kepastian hukum bagi para obligor yang mengembalikan. Kepastian hukum yang dimaksud yakni SKL.

“Sampai akhirnya jaman ibu Megawati dibuat percepatan penjualan aset dan ekonomi menjadi recover (pulih). IMF juga, utang dibayar kembali. Dan bagi obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan kepastian hukum. Itu adalah mandat dari MPR,” terang dia.

Sebetulnya, sambung dia, pemerintah saat itu bisa saja menyeret para obligor penerima BLBI yang ‘bandel’ ke pengadilan. Namun, pilihan itu tidak pemerintah ambil karena pertimbangan hukum dan waktu.

“Jaman dulu bisa dibayangkan, opsinya adalah memenjarakan semua bankir. BLBI Rp 400 triliun, tapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp 144 triliun yang pada bank swasta. Anda bisa bayangkan kalau semua dilakukan proses peradilan, kita bisa kalah dan waktunya 10 tahun nggak jelas,” pungkasnya.

Sekadar informasi, MSAA atau akusisi aset milik obligor penerima BLBI oleh negara, merupakan salah satu cara bagi para obligor mengembalikan BLBI yang mereka terima. Jika MSAA sudah dilakukan para obligor berhak mendapatkan SKL.

Sementara penerbitan SKL merupakan kewenangan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun sebelum menerbitkan, Kepala BPPN harus mengantongi rekomendasi dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). KKSK sendiri terdiri dari beberapa kepala lembaga, diantaranya Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, dan Menteri BUMN.

Sjamsul memang telah menjalankan kebijakan MSAA hingga utang BLBI-nya tersisa Rp4,8 dari Rp28 triliun. Menurut KPK, Rp4,8 triliun belum seluruhnya dibayarkan, namun SKL sudah diberikan ke Sjamsul. Perhitungan KPK, dari sisa Rp4,8 trilun, yang baru dibayarkan hanya Rp1,1 trilun, sisa Rp3,7 triliun lagi.

Perhitungan tersebut kemudian dijadikan dasar oleh KPK untuk menetapkan Kepala BPPN, Sjafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka. Kepala BPPN era Presiden Megawati Soekarnoputri ini diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN untuk memberikan SKL ke Sjamsul.

 

Laporan Mochammad Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh: