ilustrasi reklamasi teluk jakarta

Jakarta, Aktual.com – Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) pada Rabu (11/10), melayangkan surat terbuka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta terkait pembahasan lanjutan reklamasi. Dalam surat tersebut, KSTJ meminta agar DPRD DKI Jakarta menimbang kembali pembahasan lanjutan reklamasi dengan Pemprov DKI Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Pemprov DKI Jakarta, melalui surat Nomor 2054/-1.794.2, meminta DPRD DKI Jakarta untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTR KS Pantura Jakarta) dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Dalam surat yang ditanda tangani Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata, KSTJ menyebutkan tujuh alasan yang harus dipertimbangkan oleh DPRD DKI Jakarta dalam kelanjutan reklamasi di Teluk Jakarta.

Berikut tujuh poin keberatan KSTJ terkait reklamasi Teluk Jakarta:

1. Surat Menko Maritim No. S-78-001/02/MENKO/Maritim/X/2017 tidak relevan karena tiada kewenangan dari Menko Maritim untuk kemudian menyatakan bahwa reklamasi dapat berlanjut. Surat tersebut tidak berdasarkan adanya kajian ilmiah yang transaparan tehadap alasan dicabutnya moratorium reklamasi. Surat tersebut bertentangan dengan rekomendasi dari Kemeko Kemaritiman sendiri di tahun 2016 yang mengatakan Reklamasi Pulau G dihentikan dan mengevaluasi reklamasi pulau lainnya. Lebih lanjut menurut Kajian KKP bertajuk Policy Brief 2016, Dampak Sosial Ekonomi Dan Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, BALITBANG Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Tahun 2016. Selain dampak buruk lingkungan, juga akan akan berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi dari nelayan dalam proyek reklamasi;

2. Putusan Mahkamah Agung No. 92/K/TUN/LH/2017 tidak menghilangkan fakta bahwa masih ada proses pengadilan yang memeriksa gugatan nelayan dan organisasi lingkungan hidup terhadap Gubernur DKI Jakarta yang menerbitkan reklamasi. Setidaknya ada tiga gugatan lingkungan hidup yang sedang berjalan antara nelayan dengan Gubernur DKI Jakarta terkait dengan Pulau F (SK Gubernur No. 2268/2015 dengan Putusan No. 14/G/LH/2016/PTUN-JKT), Pulau I (SK Gubernur No. 2269/2015 Putusan No. 15/G/LH/2016/PTUN.JKT) dan Pulau K (SK Gubernur No. 2485/2015 dan Putusan No. 13/G/2015/PTUN-JKT). Dari tiga gugatan tersebut menunjukkan bahwa proyek reklamasi adalah proyek bermasalah dan seharusnya dihentikan;

3. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperda RTR KS Pantura dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat. Patut diingat hanya ada satu kali Konsultasi Publik yang dilakukan setelah kajian dilakukan dengan undangan disebar tanpa (lihat Siaran Pers Koalisi tertanggal 10 Maret 2017). Surat undangan sampai ke peserta yang diundang tidak sampai 24 jam sebelum kegiatan dan tanpa dilampirkan dokumen yang di bahas. Banyak substansi yang tidak dipertimbangkan dalam KLHS dari mulai berbagai kajian dampak buruk reklamasi hingga khusus dampak buruk kepada perempuan nelayan yang berada di wilayah pesisir yang tidak menjadi pertimbangan. Sehingga tidak relevan KLHS dari Raperda RTR KS Pantura menjadi dasar dilanjutkannya dan sudah seharusnya KLHS diulang kembali dengan proses yang benar tanpa ada konflik kepentingan;

4. Terkait dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 499/Menlhk/Setjen/Kum.9/9/2017 tertanggal 15 September 2017 dan No. 537/Menlhk/Setjen/Kum.9/10/2017 kedua surat keputusan tersebut menunjukkan lemahnya kedudukan pemerintah didepan perusahaan pengembang yang rakus. Sejak awal Koalisi meminta adanya pencabutan Izin Lingkungan semua proyek reklamasi di Teluk Jakarta karena jelas banyak permasalahan mulai tiadanya dasar hukum perencanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil hingga pembuatan AMDAL yang diduga tidak partisipatif, tidak valid, dan cacat subtansif karena bertentangan dengan tata ruang (AMDAL Bodong). Lebih lanjut SK Men LH 499 dan 537 tersebut tidak dilakukan dengan terbuka informasi dengan pelibatan masyarakat. Sangat berbeda dengan proses terbitnya sanksi administrasi dimana perwakilan nelayan dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta terlibat dalam inspeksi. Di sisi lain koalisi telah mengajukan permohonan keterbukaan informasi atas pemenuhan kewajiban pengembang atas sanksi administrasi yang dijatuhkan namun hingga saat ini tidak dipenuhi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

5. Melanjutkan pembahasan Raperda RTR KS Pantura dan Raperda RZWP3K yang telah jadi adalah bertentangan dengan prinsip anti-korupsi. Karena Raperda RTR KS dan Raperda RZWP3K diselimuti jual beli pasal dan kemudian menjadi dasar untuk pemulus reklamasi berjalan. Terlebih KLHS dari Raperda RZWP3K tidak memiliki kajian lingkungan hidup strategis dan KLHS sebelumnya telah dibuat diduga kuat tidak melalui proses yang benar dan hanya berisikan hasil-hasil rapat. Alhasil KLHS tidak dapat menjadi pembenar proyek reklamasi. Selain itu KLHS juga tidak berdasarkan daya dukung dan daya tampung teluk Jakarta;

6. Sejak 17 Oktober 2014, menjelang 3 tahun, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harusnya mematuhi Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014, Pemerintah harus memenuhi mandat adanya Peraturan Pemerintah mengenai Rencana Tata Ruang Laut Nasional. Yang menjadi dasar dari setiap perencanaan Tata Ruang dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sehingga jika DPRD Jakarta tetap memaksakan melanjutkan pembahasan Raperda reklamasi tersebut akan dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan undang-undang yang berlaku;

7. Secara politis, Gubernur Djarot seharusnya menghormati Gubernur terpilih yang memiliki janji untuk menghentikan reklamasi. Jika Raperda RTR KS Pantura dan Raperda RZWP3K dipaksakan lanjut, DPRD hanya akan menambah masalah bagi pemerintah terbaru. Sehingga sudah seharusnya DPRD DKI Jakarta menolak permintaan dari Gubernur Djarot.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: