BukanPerseteruan Antar Lembaga

Oleh: Robby Alexander Sirait
Jakarta, Aktual.co —  Polemik pencalonan Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang ditanggapi dengan penetapan BG sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) yang digawangi Abraham Samad telah mengisi ruang publik dua minggu terakhir.

Perseteruan ini lalu berlanjut dengan langkah mem-praperadilan-kan KPK oleh POLRI dan langkah BG mengajukan gugatan yang serupa. Yang paling anyar adalah berita penangkapan salah satu komisioner KPK RI, Bambang Widjojanto (BW) sebagai tersangka kasus kesaksian palsu pada tahun 2010.

Jika kita membaca pemberitaan pers dan berselancar di dunia maya khususnya twitter dan facebook, masyarakat terkesan digiring kepada suatu kesimpulan bahwa semua ini pertarungan antar dua lembaga. Pertarungan antara KPK RI versus POLRI. Benarkah demikian?

Mungkin banyak orang yang menyatakan benar bahwa ini adalah pertarungan KPK RI versus POLRI, tapi penulis lebih berkeyakinan ini hanya pertarungan orang per orang atau kelompok di kedua lembaga tersebut. Sama sekali bukan pertarungan KPK RI versus POLRI.

Keyakinan ini salah satunya bersumber dari pro kontra antara para petinggi POLRI atas kasus penangkapan BW.  Faktor lain adalah buka-bukaan Plt Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto,  atas pertemuan elit partainya dengan ketua KPK Abraham samad pada saat pilpres lalu, yang diawali dengan beredarnya tulisan “Rumah Kaca Abraham Samad”.

Pernyataan Hasto saya anggap juga faktor, karena Samad hingga saat ini tak kunjung bersikap tegas untuk mengklarifikasi isi tulisan yang dibenarkan dan dibeberkan oleh Hasto.  Samad adalah penegak hukum, artinya dia memahami betul bahwa apa yang dilakukan oleh hasto adalah tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum, dalam arti: pencemaran nama baik. Bisa saja Samad melaporkan pencemaran nama baik tersebut kepada pihak berwajib bersama-sama rakyat yang berada di belakang KPK RI sehingga kekuatan people power untuk menunjukkan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

Jika Samad bersedia melaporkan Hasto dan mampu membuktikan apa yang disampaikan Plt Sekjen PDI Perjuangan itu adalah fitnah, maka langkah Samad akan menjadi langkah panutan penegak hukum yang bisa kian memperkuat kewibawaan KPK RI sebagai lembaga anti rasuah.  Faktanya hingga tulisan ini dirilis Samad tidak melakukan hal itu. Padahal sorot mata media dan khalayak mendukung penuh KPK RI. Kalau demikian, wajar bila penulis menyimpulkan sementara bahwa apa yang dikatakan Hasto itu benar adanya.

Faktor berikut ialah mengapa penetapan tersangka BG dilakukan sangat berdekatan waktu dengan fit & proper test BG di parlemen. Mengapa itu tidak dilakukan pada tiga bulan yang lalu saat nama BG sudah masuk list stabilo merah sebagai kandidat menteri.
 
Faktor lain ialah mengapa penetapan tersangka BW justru terjadi pasca kekisruhan dan digantungnya pelantikan BG sebagai kapolri? Padahal beberapa tahun silam, sudah ada yang divonis 5 bulan penjara dalam pusaran kasus BW ini. Mengapa?

Pertanyaan-pertanyaan tentang kasus BG dan BW ini memperkuat alasan penulis untuk menyimpulkan bahwa kedua kasus tersebut adalah memang kasus perorangan atau kelompok yang saling menyandera, bukan kasus hukum yang merupakan otoritas kedua  lembaga.

Lebih jauh lagi, perseteruan perorangan/kelompok yang dicitrakan seolah-olah perseteruan lembaga bisa jadi akibat dari orang per orang tersebut terlalu jauh masuk ke ranah politis dibandingkan ranah hukum yang menjadi otoritas mereka selaku aparat hukum.

Desas-desus kepolisian yang tidak terlepas dari kepentingan politik dan kepolisian masih menjadi lembaga terkorup seturut penilaian Transparency International (TI) merupakan indikasi faktual yang tak terbantahkan, bahwa kepolisian masih jauh dari roh penegakkan hukum yang sejati dan seideal-idealnya.

Lantas bagaimana dengan KPK? Fakta bahwa para komisioner itu memimpin KPK RI karena dipilih oleh parlemen, tentu bisa menjadi indikator awal yang mengarah kepada dugaan bahwa komisioner -komisioner KPK RI ini dapat saja (masih mungkin) terkontaminasi oleh kepentingan politik. Dugaan itu logis terjadi, karena mereka dipilih melalui channel pengambilan keputusan secara politik.

Kedua, coba kita browsing beberapa tahun kebelakang. Banyak sekali statemen-statemen para petinggi KPK RI yang lebih bertendensi dan bernuansa politis. Mereka bahkan terlalu banyak mengomentari kondisi politik nasional yang berkembang, dibandingkan sebagai penjagal hukum layaknya hakim bao.

“Moment pertama adalah saat Ketua KPK Abraham Samad mengomentari negatif terpilihnya Ketua DPR Setya Novanto. Samad mengaku kecewa, karena Novanto dinilainya punya potensi terlibat kasus hukum.

Kedua, soal statemen Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja terkait ihwal rekening Jokowi di luar negeri dan dugaan korupsi dana pendidikan di Solo. Adnan menegaskan, Jokowi clear pada dua kasus yang dilaporkan itu.”
Sumber: http://nasional.inilah.com/read/detail/2145032/golkar-kpk-jangan-ikut-berpolitik-dong

Pemberitaan di atas, Samad sebagai penegak hukum atau pengamat politik?, kalau benar Setya Novanto berpotensi terlibat kasus hukum, Samad dan KPK RI tentu lebih baik tak berkomentar,tapi langsung bekerja, selidik, sidik, dan tangkap. Terlalu politiskah peryataan samad tersebut?

Dia menambahkan bahwa pernyataan Ketua KPK, Abraham Samad yang mengatakan bahwa akan menahan Komjen Budi Gunawan, dinilai sebagai sebuah paksaan dan tekanan kepada Presiden agar tidak melantik Budi Gunawan.
Sumber:
http://news.metrotvnews.com/read/2015/01/15/345669/pernyataan-kpk-dinilai-beri-tekanan-psikologis-ke-presiden-jokowi-dan-polri

Jika memang telah mencukupi syarat administrasi, mengapa KPK RI tidak langsung menahan BG dan mengajukan ke pengadilan tipikor? Mengapa harus berkomentar seolah-olah memberi sinyal ancaman? Tidakkah sikap itu lebih bersifat politis?

Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyayangkan Presiden Joko Widodo mengangkat H.M Prasetyo sebagai Jaksa Agung, karena seharusnya memilih sosok yang independen.

“Sangat disayangkan karena seharusnya sosok Jaksa Agung adalah sosok yang independen dan berintegritas,” kata Ketua KPK Abraham Samad melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis.
Sumber: http://www.klikpositif.com/news/read/14198/surya-paloh-sayangkan-pernyataan-ketua-kpk.html

Pernyataan Samad di atas layak dipertanyakan apa itu pernyataan seorang penegak hukum atau lebih merupakan penyataan seorang pengamat politik? Apakah mengomentari jabatan publik orang lain juga merupakan Tupoksi para komisioner KPK RI? Tidakkah komentar itu bisa disalahtafsirkan publik sebagai manuver politis pimpinan KPK RI?  Kalau si jaksa terindikasi masalah hukum maka KPK selidik, sidik ,dan dakwa. Bukan malah berkomentar layaknya pengamat.

Tiga kutipan berita di atas sekedar contoh bahwa beberapa komisioner KPK cenderung berpendapat di ruang publik dengan tendensi dan nuansa politis. Padahal sejatinya, mereka harus banyak bekerja dibanding berkomentar politis di media massa.

Penulis membayangkan seharusnya para komisioner KPK RI hanya banyak berbicara di ruang-ruang publik dengan konten hasil penyidikan, penetapan tersangka, dan konten hukum tipikor lain. Dalam hal ini seturut kelaziman sikap seorang pengadil sejati. Amati, sidik, sangka, dan tuntut, itulah yang harus dilakukan oleh para komisioner KPK tersebut. Jangan berkomentar atas sesuatu yang tidak pasti secara hukum. Jangan pula beropini di ruang-ruang publik.

Letakkan Kasus BG dan BW Dengan Cara Pandang Yang Sama : Buktikan di Pengadilan

Ketika seorang koruptor ditetapkan oleh KPK RI sebagai tersangka, kita selalu disuguhi cara pandang bahwa KPK RI bekerja sesuai aturan hukum yang berlaku. Yaitu, memiliki dua barang bukti permulaan, praduga tak bersalah, Equality before the law, ada mekanisme praperadilan, dan pembuktian di pengadilan.

Tidak ada sama sekali yang salah dengan cara pandang tersebut dan memang harus seperti itu penegakan hukum bekerja. Prinsip hukum dan cara pandang inilah yang selalu dibagikan para komisioner KPK RI di ruang-ruang publik.

Nah untuk kedua kasus tersebut seyogyanya kita meletakkan kasus BG dan BW dengan cara pandang yang sama sebagaimana dijelaskan pada alinea sebelumnya. Untuk kasus BG, KPK RI sudah punya alat bukti permulaan yang kuat, maka biarkanlah mekanisme peradilan yang membuktikan, apakah dakwaan jaksa KPK RI, benar atau salah. Biarkan hakim tipikor yang memutuskan.

Sama halnya dengan kasus BW, POLRI sudah punya 3 alat bukti maka biarkanlah mekanisme peradilan yang memutuskannya. Jika BG dan BW sebagai tersangka merasa tidak melakukan pelanggaran hukum, buktikan di pengadilan. Bukan, mereka malah beradu argumen dan opini di ruang publik, yang sebenarnya bukan tempatnya.

Mungkin sebagian orang berpandangan bahwa peradilan yang dihadapi BW nantinya unfair karena sudah mencium ada rekayasa atau kriminalisasi.

Pertanyaannya, apakah POLRI yang menyidik, mendakwa dan memutuskan BW bersalah atau tidak. Jawabannya pasti tidak, masih ada kejaksaan sebagai pendakwa dan kehakiman sebagai pengadil di pengadilan.

Artinya, bisa saja peradilan BW akan fair sesuai aturan dan mekanisme hukum. Jika masih berpandangan bahwa akan tetap tidak fair maka tanpa disadari kita yang berpandangan seperti itu menuduh Kejaksaan dan Kehakiman ‘KOTOR” tanpa menunggu proses peradilan itu sendiri dan tanpa disadari kira menyatakan bahwa “KPK dan Peradilan Tipikor”lah yang paling fair serta bertentangan dengan cara pandang yang selama ini dikampanyekan KPK RI diruang publik atas kasus-kasus korupsi yang digarapnya.

Oleh karena itu, sebaiknya mari kira menggunakan cara pandang yang sama atas kasus BG dan BW ini. Mungkin cara pandang penulis bertentangan dengan pandangan sebagian masyarakat di luar sana. Lantas siapa yang sesat pikir, saya atau mereka?

Tapi yang paling penting mari kita #SAVEKPK dan #SAVEPOLRI sebagai sebuah lembaga penegak hukum. (RAS)

*** Penulis Robby Alexander Sirait adalah netizen yang kini menekuni studi Kajian Perencanaan dan Kebijakan Publik di Universitas Indonesia

Artikel ini ditulis oleh: