Juru Bicara KPK, Febri Diansyah (istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Pengembangan dan Niaga PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Henky Heru Basudewo, dalam penyidikan kasus korupsi suap terkait kesepakatan kerja sama PLTU Riau-1.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka, yaitu Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited dan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih (ES).

“Penyidik hari ini dijadwalkan memeriksa Direktur Pengembangan dan Niaga PT PJB Henky Heru Basudewo sebagai saksi untuk tersangka ES dalam kasus suap korupsi suap kesepakatan kerja sama PLTU Riau-1,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (14/8).

PT PJB merupakan anak perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Sebelumnya, KPK pada Kamis (9/8) telah memeriksa Direktur Utama PT PJB Iwan Agung Firstantara sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo dalam penyidikan terkait kasus tersebut.

“Kami menerangkan, kami dipanggil atas dugaan kasus suap Pak Johannes Kotjo sama Bu Eni dan tadi kami menerangkan peran PJB di dalamnya,” kata Iwan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/8).

Lebih lanjut, Iwan menyatakan bahwa pihaknya bermitra dengan Blackgold Natural Resources Limited dalam pembangunan PLTU Riau-1 itu berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2016.

“Yaitu yang menyatakan bahwa saham yang dimiliki oleh PT Pembangkitan di Mulut Tambang (Riau-1) itu wajib minimal 10 persen diberikan kepada perusahaan tambang melalui afiliasinya,” ungkap Iwan.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK sedang mengkonfirmasi pengetahuan dari para saksi yang dipanggil tentang pertemuan-pertemuan terkait pembahasan proyek PLTU Riau-1.

Sebelumnya, KPK telah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut. Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen “fee” 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: