Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)
Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi telah membuka penyelidikan baru, yang dikembangkan melalui kasus dugaan suap pembahasan raperda reklamasi pantai utara Jakarta. Ada lebih dari satu penyelidikan yang baru saja dibuka oleh KPK.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menuturkan, pihak saat ini memang tengah mendalami soal implementasi kontribusi tambahan yang dibebankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada perusahaan pengembang reklamasi Pantura Jakarta.

“Perlu saya tegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang berhubungan dengan itu (kontribusi) sedang berjalan. Ada berapa penyelidikan,” ungkap Syarif, saat jumpa pers di kantornya, Selasa (17/5).

Dalam kesempatan kali ini, Syarif pun juga dikonfirmasi soal payung hukum implementasi kontribusi tambahan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.

“Kajiannya sedang berjalan, belum ada kesimpulan,” terang Agus.

KPK sendiri meyakini bahwa memang ada pembayaran dari pengembang reklamasi, yang merupakan bagian dari kontribusi tambahan. Hal itu diperkuat dengan terungkapnya sebuah kesepakatan yang disebut ‘perjanjian preman’.

Berdasarkan data yang didapat Aktual.com, ada empat pengembang yang bersepakat untuk membayarkan kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI. Padahal, Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta, yang mengikat kewajiban itu belum disahkan oleh DPRD DKI.

Keempat pengembang ini adalah PT Muara Wisesa Samudra dan PT Jaladri Kartika Pakci selaku anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo serta PT Taman Harapan Indah. Para pengembang ini, yang kemudian mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi dari Ahok.

PT Muara Wisesa telah mendapatkan izin pelaksanaan untuk Pulau G pada 23 Desember 2014, PT Jakarta Propertindo untuk Pulau F dan PT Jaladri untuk Pulau I mendapatkan izin pelaksanaan pada 22 Oktober 2015, sedangkan PT Pembangunan Jaya untuk reklamasi Pulau K mendapatkan izin pelaksanaan pada 17 November 2015.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga membenarkan adanya perjanjian itu. Menurutnya, kesepakatan itu dibuat dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Padahal, dalam aturan tersebut tidak dijelaskan mengenai kontribusi tambahan.

“Kaya perjanjian preman kaya gitu juga,” kata Ahok. Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi lima persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri),” tutur Ahok, di Balaik Kota DKI Jakarta, Jumat (13/5).

Kata Ahok, khusus Podomoro sudah mengeluarkan uang Rp200 miliar. Namun, itu belum sepenuhnya dari nilai kontribusi tambahan yang semestinya.

“Agung Podomoro sudah serahkan berapa? Dia sudah serahkan pada kami Rp200-an miliar. Yang sudah dikerjain jalan inspeksi, rusun, tanggul, pompa, dia sudah kerjain,” papar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby