Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). KPK menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Sensasi yang dilakukan oleh KPK akhir-akhir dengan “mengumbar” kasus-kasus yang sedang ditangani ke publik, mulai di kritisi oleh masyarakat karena diduga telah melanggar hak asasi manusia.

Pakar hukum pidana KUHAP dan KUHP, Prof Andi Hamzah menilai langkah KPK tersebut, telah melanggar hukum, aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, langkah KPK tersebut selalu diulang dan terulang kembali.

Andi Hamzah mencontohkan kasus E-KTP, dimana surat dakwaan dan BAP yang berisi nama-nama  yang ditulis full (bukan inisial) telah bocor, serta rencana pemeriksaan dan pengembangan kasus yang sengaja di gembar-gemborkan ke publik melalui media.

“Kasihan nama-nama yang disebut beserta keluarganya, pasti sudah hancur dan di cap jelek oleh publik, sebelum pembuktian di pengadilan, yang dilakukan KPK saat ini jusru entertaint kasus ke publik yang seharusnya rahasia,” kata Andi Hamzah kepada wartawan dalam acara silaturahmi Pakar Hukum Pidana KUHAP dan KUHP Indonesia, disebuah hotel di Jakarta, Selasa (27/6).

Menyangkut pemberantasan korupsi lanjut Andi, harusnya menekankan pencegahan korupsi. “Saya usulkan KPK itu 70 persen harus mencegah. Hanya 30 persen penindakan,” katanya.

Senada dengan aprofessor Andi, budayawan Ridwan Saidi mengatakan, kasus-kasus hukum yang ramai diberitakan media saat ini banyak yang tidak substansi dan lebih mengarah kepada sensasi penegakan hukum.

Menurut Ridwan Saidi, Kasus hukum yang digelar di media oleh KPK kebanyakan tidak memiliki substansi yang jelas dan cendeung Mengarah pada sensasi sehingga mengorbankan banyak orang dan institusi.

“Seperti kasus E-KTP, ‘serempetan’ KPK itu kan ngefeknya sudah buat hancur nama seseorang, padahal belum tersangka. Contohnya nama Ketua DPR RI Setya Novanto, Dia punya kehormatan pribadi, punya keluarga. Yang terjadi adalah persaingan politik pindah ke hukum. Orang yang disebut sudah kalah, dihabisi dulu. Hormatilah hak warga negara. Jangan jadi persaingan politik,” katanya.

(Fadlan Butho)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka