Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Indonesian Audit Watch (IAW) mengapresiasi rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar dugaan kasus suap yang mengarah ke pengembang reklamasi Pulau C dan Pulau D.

Menyusul telah di prosesnya mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja yang tertangkap tangan memberi suap kepada anggota DPRD DKI Jakarta Sanusi.

Ketua Pendiri IAW Junisab Akbar, mengatakan ada hal menarik yang disajikan KPK saat menyatakan sedang mempelajari penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) terhadap dua pulau reklamasi, Pulau C dan D pada bulan Agustus lalu.

“saat itu Ketua KPK menyatakan di media bahwa penerbitan sertifikat HPL dan HGB terhadap dua pulau reklamasi itu terkesan dilakukan Kementerian ATR/BPN RI dengan tergesa-gesa,” ucapnya disela kunjungannya ke Semarang, Jakarta, Jumat 22/12/2017.

Seperti ini kata Agus Rahardjo, saat itu menyatakan “Penerbitan sertifikat yang kelihatannya buru-buru itu,” kutip Junisab.

Karena itu kalimat Ketua KPK itu tidak lazim dan seperti ada ‘yang dijaga’, sebab biasanya KPK kerap gunakan ungkapan, tindak pidana korupsi karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu kewenangan.

“Nah, kasus reklamasi yang sampai hari ini terus dicermati masyarakat karena sempat menjadi isu politis dalam Pilkada DKI Jakarta tapi kemudian dianggap oleh Ketua KPK bahwa itu terjadi hanya karena terburu-buru BPN RI memberikan sertifikat kepada pengembang reklamasi, membuat kami perlu mengingatkan kepada publik agar soal reklamasi teluk Jakarta harus terus kita ingat,” ujar mantan anggota DPR RI itu.

Sebabnya, kata dia tidak pas, tidak layak dan tidak sesuai tugas pokok dan fungsinya jika Ketua KPK mengungkapkan seperti itu. Sebab dari analisa IAW menyatakan bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan kewenangan, oleh KPK disebut terburu-buru, yang dilakukan oleh oknum personal di Kementerian ATR/BPN RI sehingga sertifikat HPL dan HGB itu bisa terbit.

“Masa Ketua KPK harus memaklumi ‘buru-buru’ pemberian HGB di atas HPL, karena seharusnya HPL dan HGB mutlak harus sesuai Rencana Umun Tata Ruang (RUTR). Apa sudah ada RUTR?,” ungkap dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby