Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari seraya membenarkan adanya peran pejabat PT Bio Farma dalam kasus korupsi proyek pembangunan fasilitas, riset dan alih teknologi produksi vaksin flu burung tahun anggaran 2008-2010.

Meski memastikan adanya peran Bio Farma dalam kasus tersebut, Siti enggan menjelaskan bagaimana perannya. “Iya itu kan saya nggak bisa cerita,” ujar Siti di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin (7/3).

Keterlibatan pejabat Bio Farma di kasus korupsi pabrik vaksin flu burung itu memang dipaparkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam audit tersebut, Bio Farma dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin disebut kerap mengadakan pertemuan.

Beberapa petinggi Bio Farma, antara lain Iskandar selaku Direktur dan Mahendra Suhardono sebagai Direktur Produksi sempat bertemu dengan Nazaruddin di gedung Arthaloka, Jakarta. Salah satu hasil pertemuan adalah Bio Farma menyetujui Nazaruddin untuk memperjuangkan proyek tersebut masuk ke APBN-Perubahan milik Kemenkes tahun anggaran 2008.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, pada 2007 Bio Farma memang sempat mengirimkan proposal produksi pabrik vaksin ini ke Bappenas, namun ditolak. Hal itu ditengarai menjadi alasan mengapa perusahaan BUMN bersedia dibantu oleh Nazaruddin.

Dalam audit BPK, Bio Farma tercatat sebagai pihak yang melaporkan spesifikasi peralatan produksi vaksin flu burung dari perencanaan sampai produksi, dengan besaran anggaran senilai Rp 720.037.270.42.

Terdakwa kasus dugaan korupsi dalam proyek produksi vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2008-2010 Rahmat Basuki, menyatakan bahwa PT Bio Farma merupakan pihak yang mengusulkan paket pengerjaan pembangunan ‘system connecting fasilitas produksi dan chicken breeding’.

Rahmat mengatakan, permintaan tersebut dilakukan Bio Farma dengan mengirimkan surat resmi langsung ke Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, yang saat itu dijabat oleh Tjandra Yoga Aditama.

“Ada surat dari Bio Farma ke Dirjen P2PL untuk merevisi paket pengerjaan, hasilnya ada paket ‘connecting’ itu,” jelas Rahmat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Senin 15 Juni 2015.

Permintaan pengerjaan ‘system connecting’ itu menurut hasil audit BPK merupakan pelanggaran. Pasalnya, menurut Rencana Kerja dan Syarat-syarat nomor 01/RKS/AI/X/2008 pada 27 Oktober 2008, yang menjadi pedoman, tidak tercantum bahwa pembangunan peternakan sudah terintegritas dengan ‘system connecting chicken breeding’.

Dan dalam rincian peralatan paket pekerjaan itu, terdapat beberapa alat yang dipakai untuk Bio Farma, sebagai pengguna pabrik dan tidak dirinci dalam daftar peralatan yang wajib diadakan seperti dimuat di dokumen RKS awal.

Penambahan peralatan itu dilakukan berdasarkan hasil ‘review’ konsultan pengawas peralatan yang belakangan ditunjuk yakni, PT Arkonin. Adapun nilai kontrak paket pengerjaan ‘system connecting chicken breeding’ adalah sebesar Rp 663.365.005.000.‎

Dan pengerjaannya belakangan diketahui digarap oleh PT Exartech Technologi, yang tak lain adalah perusahaan milik Nazaruddin.

Dalam LHP BPK juga disebutkan bahwa Bio Farma tidak memiliki keahlian dalam proses perancangan dan perencanaan fasilitas produksi vakasin flu burung. Bio Farma juga tidak mampu menyusun dan melakukan verifikasi Rencana Anggaran Biaya (RAB) kegiatan produksi vaksin.

Menurut Ketua Tim Audit BPK di proyek pabrik vaksin ini Aditya Pradana Nugraha bahwa peralatan yang dianggarkan oleh Bio Farma tidak dapat berfungsi, sehingga menyebabkan negara mengalami kerugian lebih dari Rp 300 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu