Korea Utara, Monarki Marxis pertama di dunia. Setelah Kim meninggal dunia, kekuasaan diteruskan oleh putranya, Kim Jong Il, dan sekarang beralih ke cucunya, Presiden Kim Jong Un. (ilustrasi/aktual.com)

Mungkin hanya di Korea Utara, seorang presiden yang sudah meninggal dunia beberapa dekade lalu, masih diperingati hari kelahirannya bukan saja sebagai mantan presiden, melainkan juga sebagai pendiri Korea Utara.

Memang kalau menelisik kesejarahannya, musabab berdirinya Korea Utara memang tidak bisa dilepaskan dari peran dan kiprah Kim Il Sung. Jadi, siapa dia sesungguhnya sehingga bisa jadi sosok yang begitu melegenda di Korea Utara?

Segera setelah Jepang menyerah terhadap tentara sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Inggris pada Agustus 1945, maka wilayah Semenanjung Korea jadi ajang perebutan antara dua negara sekutu pemenang perang, AS dan Uni Soviet. Pasukan Soviet memasuki Pyongyang, lantas merembes terus sampai garis lintang 38 derajat. Sedangkan di Selatan garis lintas, AS yang berkuasa.

Dalam konstalasi persaingan global baru pasca Perang Dunia II di Semenanjung Korea inilah, muncul sosok Kim Il Sung, yang waktu itu masih berusia 33 tahun. Dan hanya jebolan sekolah menengah. Reputasi politik Kim mulanya bukan sebagai kader komunis atau Marxis. Melainkan sebagai salah seorang yang bergabung dengan pasukan gerilyawan anti Jepang sejak 1932. Dan di sinilah awal mula Kim menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet. Bahkan sempat menempuh pendidikan politik sebagai kader di negeri Beruang Merah.

Foto Kim Il Sung untuk Artikel Rabu 26 april

Maka, ketika terbelahnya Korea antara yang berada dalam pengaruh AS maupun Soviet, Kim memasuki kancah politik Korea atas dukungan sepenuhnya dari Soviet. Begitu Republik Demokratik Rakyat Korea didirikan atas restu Soviet pada September 1948, Kim kemudian terpilih sebagai perdana menteri.

21 bulan kemudian, Kim memerintahkan pasukannya menyeberangi garis lintang 38 derajat. yang berarti memasuki wilayah Selatan yang berada dalam kendali AS, sehingga Kim telah membunyikan genderang perang yang menandai dimulainya Perang Korea yang amat bersejarah itu. Sontak, dunia internasional terkejut.

Perang Korea berjalan selama tiga tahun, sebelum akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan. Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Il Sung akhirnya harus menerima kenyataan politik untuk tetap berada di balik garis lintang 38 derajat. Sementara pasukan perdamaian PBB menyangga daerah sebelahnya, Korea Selatan yang tetap dalam kendali AS.

Melalui Perang Korea yang dipantik oleh Kim inilah, Republik Rakyat Cina yang ketika itu beralih kekuasaannya dari Jenderal Chiang Kai Shek ke Mao Zedong yang berhaluan komunis pada 1949, kemudian ikut serta mendukung Korea Utara melawan Korea Selatan yang didukung AS.

Sejak saat itulah Kim praktis menjadi Pemimpin Besar Revolusi Korea Utara. Kim semula merintis jalan menuju kekuasaan melalui Partai Buruh Korea, yang kemudian menjelma jadi Partai Komunis. Lantas, negara macam apa yang dibayangkan Kim Il Sung? Secara kasat mata kalau kita lihat sekarang, yang diberlakukan memang sistem totaliterisme. Namun sepertinya tidak sampai di situ saja.

Dalam membangun totaliterisme-nya, Kim rupanya merujuk pada sejarah Korea yang notabene berbentuk kekaisaran itu. Maka pada 1958, setelah kekuasaannya semakin menguat dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya, Kim mulai membina sistem lima keluarga. Yang mana para anggota terpercaya Partai Buruh Korea menjadi pemuka bagi lima keluarga di sekitarnya, dan bertanggungjawab dan mengindokterinasi mereka menurut pola yang sudah digariskan.

Dengan begitu, mereka dikondisikan untuk memuja dan mengkultuskan Kim Il Sung dan para anggota keluarganya. Iniah yang membuat Korea Utara jadi unik dan lain daripada yang lain, dibandingkan negara-negara sosialis atau berhaluan Marxis lainnya. Alhasil, pada perkembangannya kemudian Korea Utara jadi negara yang sangat tertutup dari dunia luar.

Lepas dari hal itu semua, ikatan yang dibangun antara Kim dan para pimpinan nasional lainnya dengan rakyatnya adalah semangat anti Amerika. Sebab dengan bercokolnya AS di Korea Selatan, Kim memandang  negeri Paman Sam itu sebagai pemecah belah bangsa dan negara Korea.

Sehingga pada masa konsolidasi kekuasaan Kim, sentimen anti Amerika untuk digunakan untuk memupuk kekompakan dan persatuan nasional. Bahkan sempat muncul lagu pop yang sangat populer yang mana salah satu judulnya sungguh provokatif: Mari kita Mencincang Setiap Serdadu Amerika Yang Kita Tangkap Hari ini. Bahkan ada lagu anak-anak yang berjudul Tujuan Utama Hidup Kita adalah Membunuh 100 Yankee. 

Bukan itu saja. Malah sempat ada boneka yang sempat paling laris di toserba Pyongyang, yang menggambarkan seorang pahlawan Angkatan Laut Korea yang memiting serdadu berpakaian gombal. Di tubuh serdadu itu tersemat label Monster Serdadu Yankee. 

Kultus individu yang begitu mencolok dan sistem politik dan ekonomi yang serba terpusat di Korea Utara tentu saja menuai kecaman dari negara-negara demokratis dan terutama yang menerapkan demokrasi ala Barat. Namun kalangan internal Korea Utara justru menilai watak totaliter ini sangat efektif untuk membina dan menggembleng mentalitas dan pembinaan bangsa  dalam menghadapi era industri.

Tak berlebihan jika Korea Utara disebut Monarki Marxis pertama di dunia. Setelah Kim meninggal dunia, kekuasaan diteruskan oleh putranya, Kim Jong Il, dan sekarang beralih ke cucunya, Presiden Kim Jong un. Berarti sejak awal, Kim merancang sistem kekaisaran yang turun temurun, meskipun resminya berbentuk republik.

Selain itu, Kim Il Sung membuat doktrin yang kelak dikenal dengan nama Doktrin Juche, Percaya kepada diri sendiri atau kalau di era Bung Karno dulu dikenal dengan nama Berdikari. Melalui Doktrin Juche, Kim menutup pintu dari modal dan teknologi asing.

Dengan segala kontoversinya, kekuasaan monarki Marxis yang dirintis Kim, masih bertahan hingga sekarang, yang berada dalam kekuasaan cucunya, Kim Jong un.