(ilustrasi/aktual.com)

Konsentrat Emas Ertsberg 15 Gram per Ton, Rahasia Yang Disembunyikan Korporasi Belanda-AS Sejak 1936

Sudah banyak buku karya para pakar dan sejarawan ihwal emas yang terkandung di Papua. Namun Greg Poulgrain dalam karyanya yang bertajuk The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategiss of John F Kennedy and Allen Dulles, ada banyak hal yang baru yang belum terungkap ke publik. Cerita tentang geopolitik Papua.

Sejak 1936, berkat penelitian tiga orang Belanda, telah ditemukan singkapan bijih di wilayah pegunungan Papua dengan kadar tembaga dan konsentrat yan amat tinggi. Bahkan setelah dianalisa di Belanda, ternyata emas dalam ukuran gram/ton itu, dua kali lipat lebih banyak dari yang ada di Witwatersrand, Afrika Selatan. Sehingga boleh lah dibilang merupakan tambang emas terkaya di dunia.

Menurut kajian Paulgrain dalam bukunya itu, informasi ini ditutup rapat-rapat dan tidak diumumkan ke publik. Sebab kalau sampai diketahui negara lain, tak terkecuali Amerika Serikat, maka kedaulatan Belanda atas Papua tidak aman. Sebab pada dekade saat itu, ada banyak negara yang mengincar sumberdaya alam Papua.

Bahkan sejak 1920 pun, Selain Belanda yang memang sudah bercokol tiga abad di Papua, Jepang dan Jerman serta Amerika Serikat pun telah menuntut akses lebih besar atas wilayah Papua.. Maka sejak 1920 itu pula dibuatlah kesepakatan  politik dan bisnis antara Belanda dan tiga negara tersebut.

Terkait keterlibatan AS dalam kontrak kerjasama dengan Belanda ini, aktor yang berperan adalah sebuah perusahaan minyak terkait dengan Standard Oil.

Kembali ke temuan emas tadi. Salah seorang penemu tambang emas di pegunungan Papua itu adalah ahli geologi Jean Jacques Dozy. Dozy merupakan salah satu karyawan dari Netherlands New Guinea Petroleum Company. Sekilas Ini merupakan perusahaan Belanda sepenuhnya. Padahal ini merupakan kongsi perusahaan Belanda dan Amerika. Perusahaan yang kelak dikenal dengan NNGPM ini, Belanda ternyata hanya menguasa kepemilikan saham 40 persen.

Adapun 60 persen sisanya adalah milik Standard Oil of California dan Standard Vacum Oil atau yang dikenal dengan Stanvac. Kedua perusahaan ini erat kaitannya dengan Dinasti Rockefeller. Kiprah kedua perusahaan AS inilah yang merupakan cikal bakal dari Freeport Indonesia atau Freeport McMoran.

Menariknya Dozy, meskipun dia bekerja untuk NNGPM yang notabene merupakan perusahaan kongsi antara Belanda dan AS, namun sebagai orang Belanda kesetian Dozy  tetap kepada kerajaan Belanda. Bukan kepada kedua korporasi milik Rockefeller tersebut.

Meskipun di tengah memanasnya konflik antara RI-Belanda pada dekade 1950-1960-an terkait tuntuntan Indonesia agar Papua atau Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia, temuan Dozy masih tetap dirahasiakaan. Sehingga ketika AS kemudian ikut serta sebagai mediator mendesak Belanda agar mengembalikan Papua ke Indonesia, sama sekali belum punya gambaran mengenai potensi sumber alam Papua yang sangat melimpah ruah di pegunungan Ertsberg. Rahasia temuan masih tetap tertutup rapat.

Namun salah satu perusahaan dari jaringan Rockefeller, Freeport Sulphur(pendahulu Freeport Indonesia), nampaknya sudah mencium gelagat adanya tambang emas tersebut. Apalagi dalam jaringan bisnis Rockefeller itu, Allen Dulles kala itu masih merupakan sosok yang berpengaruh dalam komunitas intelijen AS. Meskipun di era Kennedy sudah tidak menjabat lagi sebagai Direktur CIA.

Berkat jaringan intelijen Dulles yang cukup luas di kalangan korporasi tambang dan minyak, maka dalam jangka panjang Freeport Sulphur nampaknya diproyeksikan untuk mengakses pegunungan Ertsberg temuan Dozy.

Maka itu, ketika Belanda akhirnya menyerahkan kembali Papua kepada Indonesia pada 1962, Freeport sangat khawatir terhadap pengamanan akses ke deposit emas Ertsberg tersebut. Sangat beralasan sebab dari hasil temua Dozy tersebut, pegunungan Ertsberg menyimpan kandungan  tembaga terbesar di dunia, 33 juta ton bijih tembaga bermutu tinggi.

Malang bagi klan korporasi Rockefeller, pemerintahan Presiden Sukarno yang sangat nasionalis, telah membentengi ekspansi kepentingan para kapitalis global tersebut melalui UU Migas dan tambang yang mewajibkan seluruh perusahaan asing dinasionalisasikan.

Maka itu, desain AS untuk Indonesia yang dicanangkan Presiden Kennedy untuk merangkul Sukarno dalam rangka menjinakkan komunis, sangat berlawanan dengan skema Allen Dulles yang lebih mewakili dan mengamankan kepentingan korporasi Rockefller di Indonesia, seperti Standard Vacuum Oil dan Standard Oil of California. Termasuk dalam memproyeksikan Freeport Sulphur menguasai akses tambang emas Ertsberg di Papua, berdasarkan temuan Dozy yang sangat spektakuler namun masih dirahasiakan itu.

Bukan tidak mungkin, Gerakan 30 September 1965 yang kemudian bermuara pada pembubaran PKI dan kejatuhan Bung Karno setahun kemudian, lebih didorong kepentingan Korporasi Rockefeler mengamankan penguasaannya tambang emas di Ertsberg-Papua sebagai faktor prioritas.

Gambaran Poulgrin mengisyaratkan bahwa dari awal informasi mengenai berapa sesungguhnya simpanan emas di Ertsberg itu memang sangat tertutup dan dirahasiakan. Menurut cerita Poulgrain, bijih Ertsberg ditambang pada kedalaman 3500 sampai 3800 meter, dibawa dalam jalur trem gantung yang membentan sepanjang 1,5 kilometer, Dari pusat penggilingan di kedalaman 2700 meter, tembaga-perak-emas dipompa dalam bentuk bubur melalui pipa 109 kilometer menurun ke pantai selatan. Di sana pada 1980an, kemudian ditimbun dan dikirim ke Jepang dan Jerman.

Sebelum tambang Freeport mulai berproduksi, kandungan tembaga diperkirakan sekitar 2,5 persen tetapi pada 1973, berdasarkan laporan perusahaan, kandungan tembaga melonjak 3,5 persen. Setelah ditambang, konsentrat tembaga dikirim ke luar negeri, rata-rata lebih dari 30 persen berbeda dari 26 persen seperti rencana awal.

Melalui sekelumit cerita Poulgrain ini, menjadi jelas mengapa pihak Freeport sampai saat ini sangat tidak jujur dan terbuka dalam menginformasikan kepada Indonesia berapa revenue Freeport yang sesungguhnya. Dan mengapa Freeport begitu  bersikukuh menolak adanya pabrik pengolahan sehingga bisa diketahui berapa banyak konsetrat yang berhasil diproduksi.

Jika merujuk pada pernyataan Dozy ketika diwawancarai oleh Poulgrain, kandungan emas di Ertsberg yang sesungguhnya adalah 15 gram per ton. Jika benar ini merupakan temuan yang fantastis.

Jika benar konsentrat emas di Ertsberg itu adalah 15 gram per ton, jelas Freeport merupakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Sebab di Witwatersrand Afrika Selatan ternyata hanya menghasilkan konsentrat emas 7,5 gram per ton. Berarti, tambang emas di Papua dua kali lipat lebih besar daripada di Afrika Selatan.

Temuan Dozy ini meskipun pada perkembangannya kemudian diketahui juga oleh jarinngan Rockefeller melalui komunitas intelijen mantan Direktur CIA Allen Dulles, namun pemerintah AS maupun pemerintah Belanda sama sekali tidak mengetahui temuan Dozy tersebut. Informasi ekslusif itu sepenuhnya hanya klan korporasi Rockefeller yang tahu.

Alhasil, kandungan konsentrat emas Ertsberg yang 15 gram per ton itu, sepenuhnya berada dalam kekuasaan dan kendali korporasi milik Dinasti Rockefeller. Dalam hal ini melalui Freeport Sulphur yang kelak berubah nama jadi Freeport McMoran dan Freeport Indonesia.

Sekarang mengertilah kita, mengapa Freeport begitu bersikukuh menolak divestasi 51 persen saham Freeport, dengan dalih belum ada kecocokan soal harga saham dam tax regime. Lebih parahnya lagi, Freeport dengan sengaja mengadu domba antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.

Misal dengan mengirim surat keberatan soal harga penentuan harga saham kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Padahal kesepakatan yang sudah dicapai sebelumnya terkait kesediaan Freeport untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK dilakukan dengan mitranya yaitu Kementerian ESDM.

Mengingat pertaruhan yang begitu besar terkait kandungan emas Ertsberg, nampaknya tiada jalan lain bagi Freeport kecuali melancarkan Devide Et Impera Tingkat TIngkat Tinggi.

Hendrajit.