Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior dari Institute of Development for Economy and Finance (Indef), Didik J Rachbini memperingati pemerintah dengan  kondisi perekonomian saat ini di tandai dengan daya beli masyarakat yang terus anjlok dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi.

Pasalnya, jika pemerintah tidak hati-hati dan salah kebijakan, bisa menimbulkan krisis di sektor ekonomi seperti tahun 1997-1998 silam. Hal ini pada akhirnya telah membuat rezim Soeharto tumbang. Makanya jika pemerintah tak mewaspadainya, hal tersebut bisa dialami oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Saat ini, daya beli terus turun bukti masyarakat semakin miskin. Itu terbukti dengan sektor ritel-ritel yang sudah menurun. Kunciny, pemerintah jangan diam, harus bisa meningkatkan daya beli itu,” kata Guru Besar Ekonomi ini, di Jakarta, ditulis Sabtu (22/7).

Didik menegaskan, jika kondisi tersebut dibiarkan berlangsung lama, maka akan memicu ketidakpuasan publik terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi dan kinerja pemerintah yang akan semakin besar.

“Dan itu berarti secara politik akan mengurangi trust (kepercayaan) publik kepada pemerintah. Ini berbahaya,” jelas Didik.

Mungkin, kata Didik, posisi pemerintah sendiri belum terancam. Sekalipun tak bisa dianggap aman.

“Tapi saya katakan harus waspada. Karena saat ini, viral ke bawahnya semakin meruncing. Seperti krisis tahun 1997 lalu, yang tiba-tiba (daya beli) merosot ke bawah seperti papan seluncur, dan kemiskinan naik 1,5-2 kali lipat. Sehingga menurunkan rezim saat itu,” jelas Didik.

Untuk itu, kondisi sekarang, disebut Didik, mumpung belum terjadi peristiwa seperti krisis 1997-1998, maka pemerintah harus lebih waspada lagi.

“Apalagi saat ini para ekonom itu belum mengingatkan secara keras. Kalau sudah (para ekonom bicara) secara keras, pemerintah akan semakin terkaget-kaget semua. Karena indikator ekonomi terus merosot. Ini (kinerja pemerintah) sangat tak memuaskan publik,” kecam Didik.

Dia juga mengkritisi soal rencana reshuffle Kabinet Kerja untuk yang ke sekian kalinya. Menurutnya kebijakan itu terlambat. Karena penyakit utamanya adalah ketidakefektifan program pemerintah yang tak jalan.

“Dan itu (reshuffle) perubahannya akan minor. Apalagi 2018 itu banyak pilkada. Dan sudah menjadi tahun politik jelang Pilpres 2019,” ujar dia.

Saat ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017, jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah menjadi 27,77 juta. Bahkan secara persentase, kendati dianggap menurun, tetap dianggap tak signifikan. Dari 10,70 persen menjadi 10,64 persen.

Dengan jumlah kemiskinan di desa lebih banyak mencapai 17,67 juta orang atau atau sebantak 13,93 persen. Sedang orang miskin di perkotaan sebanyak 10,34 juta orang atau 7,79 persen.

Sementara ketimpangan pun tak jauh beda. Rasio ketimpangan (gini ratio) masih di posisi 0,393 dari sebelumnya di angka 0,394 poin.

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs