Don Zakiyamani

BandaAceh, Aktual.com-Belakangan ini ada dua isu besar yang santer diberitakan maupun kita dengar secara lisan. Isu pertama terkait kebangkitan paham komunis yang dinisbatkan kepada PKI (Partai Komunis Indonesia). Isu kedua terkait dengan labelisasi kelompok Islam yang disebut dengan Islam radikal.

Keduanya saat ini gencar dipropagandakan, disuarakan, bahkan awam sekalipun seolah sangat memahami keduanya.

Labelisasi paham komunis terhadap kelompok atau seseorang biasanya berdasarkan simbol, ucapan maupun garis biologis. Sedangkan labelisasi seseorang dikatakan Islam radikal bila seseorang berjenggot, tegas, kritis, ataupun mendengungkan syariat Islam dalam ceramah maupun khutbahnya didepan umum ataupun dikalangan terbatas.

Begitu sederhananya labelisasi yang diberikan kepada kedua kelompok ini sehingga siapapun bisa dikategorikan sebagai salah satu diantara keduanya. Sejenak kita kembali kemasa lalu, dan mencoba memilah serta berikhtiar mengingat siapa yang paling anti-komunis dan sekaligus Islam. Ideologi apa yang ingin menyingkirkan Islam dan komunisme didalam kancah politik.

Saya tidak tergoda mengatakan bahwa di Indonesia saat ini sedang bangkit komunisme atau tidak membantah bahwa kebangkitan itu omong kosong. Begitu pula tidak ingin mengklaim bahwa Islam radikal itu ada atau Islam radikal itu tidak ada. Keduanya kalaupun ada tidak akan cukup kuat untuk mengubah bangsa Indonesia, akan tetapi kapitalisme yang selama ini bebas tanpa labelisasi malah telah berkuasa, kita sadari maupun tidak.

Labelisasi Arab Saudi sebagai negara berpaham wahabisme serta radikal, kini mereka telah dikuasai kapitalisme. China negara yang dianggap poros komunisme sekalipun, kini telah menjelma menjadi negara kapitalis terbesar di Asia bahkan sebentar lagi didunia. Silahkan tidak setuju dengan pernyataan diatas akan tetapi kita harus berani jujur bahwa kapitalisme selama ini luput dari analisa dan kajian serta tumbuh subur dikalangan yang menisbatkan diri kelompok komunis bahkan Islam.

Labelisasi tanpa penelitian ilmiah hanya akan menciptakan kebencian serta berujung pada perpecahan bangsa. Saat ini kapitalis tampak senang dengan rentannya hati bangsa ini terhadap kedua isu tadi. Menurut literatur Islam, seseorang tidak secara otomatis mewarisi ideologi kedua orang tuanya. Banyak kita jumpai orang tuanya bergama B namun anaknya malah bergama A atau ideologi yang berbeda pula.

Keturunan biologis fungsionaris PKI belum tentu mereka sama dengan orang tua mereka. Mengapa kita vonis mereka atas dasar kelakuan orang tua atau nenek-kakek mereka. Hal itu tidak sejalan dengan semangat Pancasila dan agama-agama yang diakui konstitusi kita. Sebaliknya ketika umat Islam ingin menegakkan syariat Islam, mengapa tuduhan radikal dialamatkan kepada umat Islam, padahal dijamin oleh konstitusi bahwa setiap warga negara berhak menjalankan agamanya.

Habis energi kita untuk labelisasi Komunisme dan Islam radikal merupakan strategi kapitalis-kapitalis yang secara massif dan terencana melakukan propaganda kedua isu tersebut. Hati kita menjadi puas ketika sudah mampu melabelkan kelompok tertentu sebagai komunis dan Islam radikal. Perasaan merasa berada dijalur kebenaran biasanya mengikuti vonis kita terhadap kelompok lain. Kita terjebak dalam suasana melupakan hakekat dan esensi bertuhan, beragama, berbangsa dan bernegara.

Isu komunis dan Islam radikal telah mengubah hati kita menjadi pembenci, mudah marah serta destruktif. Kita lupa bahwa kapitalis telah lama berkuasa sehingga hutang kita terus bertambah walaupun selalu dibayar, harga barang tak sesuai pendapatan, membayar pajak dan zakat enggan dilakukan, kaya dan miskin bukan sebagai partner kehidupan namun musuh. Masih banyak lagi persoalan sosial, politik, ekonomi, bahkan agama yang diakibatkan kapitalisme.

Saatnya berhenti sejenak ‘memakan’ propaganda kapitalis yang membuat kita terkotak-kotak. Sosialis jangan langsung dituduh komunis, taat beragama dan ingin syariat Islam jangan divonis Islam radikal. Keduanya akan selamanya dijadikan isu propaganda, sementara kapitalis terus menguasai Sumber Daya Alam (SDA) kita, menyuap pejabat, memiskinkan negara kita. Silahkan teliti berapa anak yang meninggal setiap tahunnya karena kurang gizi, berapa orang yang terbunuh karena tak bisa bayar hutang, atau berapa perempuan Indonesia yang harus menjual diri demi anak-anak mereka. Semua itu akibatkan kapitalis berkuasa, dan kita harusnya melawan bukan malah dijadikan tunggangan.

Kapitalis seenaknya memecat karyawan, kapitalis seenaknya membuat gejolak ekonomi global yang mengakibatkan harga susu naik. Kapitalis pula yang mengubah karakter bangsa ini, kita enggan memilih wakil kita diparlemen bila tak diberi uang atau sembako. Dampaknya mereka harus korupsi, kolusi dan tidak menjalankan tupoksi sebagaimana yang diamanahkan konstitusi.

Mari kita jujur, mengapa ketika pejabat atau seseorang berharta datang kita harus berdiri untuk bersalaman serta tampak sibuk namun tetap biasa saja ketika yang datang si miskin. Dalam kegiatan seminar atau pelantikan pun sering kita lihat bahkan kita lakukan penghormatan pada mereka yang berharta walaupun datang terlambat. Hal-hal yang sering kita lihat itu membuktikan bahwa kapitalisme telah berkuasa, dan tanpa disadari kita telah menjadi penentang ideologi negara kita, Pancasila.

Don Zakiyamani

(Komisioner KPK (Komunitas Pecinta Kopi) Banda Aceh

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs