Sebagai Menteri Keuangan era Orde Baru, pada pertengahan 1990-an, Mar’ie Muhammad suatu saat melakukan kunjungan kerja ke sebuah BUMN kehutanan di Sumatera. Malam sebelum rapat, seorang staf perusahaan mengantarkan cek senilai Rp 400 juta ke kamar hotel tempat Mar’ie menginap.

“Itu uang apa?” tanya Mar’ie.
“Itu bonus untuk bapak (sebagai komisaris yang mewakili pemerintah). Sebab laba perusahaan tahun ini sangat baik,” jawab si staf.
“Oh, taruh di meja itu.”
Besok paginya, Komisaris Mar’ie hadir di rapat BUMN tersebut, mendengarkan paparan tentang kondisi keuangan perusahaan dengan terinci.

Sebagai akuntan tangguh, Mar’ie bertanya macam-macam detail kinerja finansial kepada direksi, yang melaporkan dengan gembira tentang bagusnya kinerja bisnis perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan akuntansi Mar’ie tajam dan gamblang, membuat direksi kewalahan, dan akhirnya sampai pada kesimpulan: perusahan tahun ini sebetulnya rugi, bukan untung.

“Kalau rugi seperti ini, kenapa perusahaan bisa kasih saya duit Rp 400 juta?”
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Mar’ie itu. Cek Rp 400 juta pun dikembalikannya dan diterima oleh pemberinya dengan penuh perasaan malu.

Cerita ini dituturkan oleh cendekiawan Muslim Dr. Nurcholish Madjid (alm) atau Cak Nur kepada rekan saya, mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Hamid Basyaib, dengan wajah berseri-seri. Nurcholish tak bisa dan tak mau menutupi kebanggaannya karena punya sahabat sejujur Mar’ie, mantan Sekjennya ketika Cak Nur menjabat Ketua Umum PB HMI.

Ada cerita lain lagi tentang kejujuran Mar’ie. Cerita ini juga dituturkan oleh Hamid. Suatu ketika seorang pengusaha besar dari Indonesia Timur, Pak Kaje menelepon Mar’ie Muhammad (waktu itu masih menjabat sebagai Dirjen Pajak, belum jadi Menkeu). Pak Kaje mengabarkan, ia ingin bersilaturahim ke kantor Mar’ie. Mereka bersahabat sejak tahun 1960-an, sebagai sesama aktivis HMI.

Mereka bertemu di kantor Dirjen Pajak. Setelah mengobrol ke sana ke mari, Pak Kaje menyatakan terima kasih kepada Mar’ie, karena berkat intervensinya pajak perusahaan Kaje bisa dikurangi hingga separuhnya.
Mar’ie kaget mendengar ucapan terima kasih sahabatnya itu. “Intervensi apa?” tanyanya. “Saya tidak pernah ikut campur soal urusan wajib pajak.”

Setelah dijelaskan duduk perkaranya oleh Pak Kaje, Mar’ie langsung menelepon pejabat perpajakan yang menangani pajak perusahaan Kaje.

Instruksi Mar’ie singkat dan lugas: kewajiban pajak perusahaan Kaje harus dibayar sesuai aturan, tidak boleh ada pengistimewaan apa pun, dan Dirjen Pajak tidak sedikit pun mencampuri urusannya. Persahabatan Dirjen Pajak dengan Pak Kaje tidak boleh mempengaruhi kewajibannya membayar pajak sesuai hukum yang berlaku. Titik.

Pak Kaje melongo, kemudian pulang dengan menggerutu. Ia menyesal telah memberitahu hal itu kepada Mar’ie. Ia bermaksud baik, sekadar ingin berterimakasih dengan tulus atas apa yang dianggapnya sebagai bantuan Dirjen Mar’ie dalam pengurangan kewajiban pajak perusahaannya.

Seandainya Kaje tak menginfokan hal itu, tentu Dirjen Mar’ie tidak tahu-menahu urusan pajak Kaje di tengah ribuan perusahaan, yang sebagian jauh lebih besar dibandingkan perusahaan miliknya yang berbasis di Indonesia Timur.

Meski ia tahu sejak lama bahwa Mar’ie orang jujur, tapi ia tak menyangka bahwa ketegaran dan sikap tak kompromi Mar’ie bisa sejauh itu. Sanggup melampaui persahabatan puluhan tahun—sampai memerintahkan bawahannya untuk mengembalikan nilai pajak sesuai aturan dengan “merugikan” Kaje sebagai wajib pajak.

Pak Kaje jengkel karena perusahaannya harus membayar pajak dua kali lipat lebih besar daripada angka yang sudah disepakati dengan bawahan Mar’ie. Tetapi Kaje seperti banyak orang lain yang pernah bersentuhan dengan Mar’ie menaruh hormat tinggi kepada sahabatnya itu karena kejujurannya. Mar’ie adalah “Mister Clean” sejati, yang teguh dengan kejujuran dan sikap antikorupsi.

Kisah ini bisa beredar karena Mar’ie sudah meninggal. Jika masih hidup, ia pasti tidak ingin kisah ini diceritakan ke mana-mana, karena dia bukan sosok yang suka mencari popularitas. Kejujuran bagi Mar’ie adalah sesuatu yang biasa saja, bukan untuk ditonjol-tonjolkan, karena memang seorang Muslim harus hidup jujur. Tetapi siapa sebenarnya sosok yang penuh integritas ini?

Dr. H. Mar’ie Muhammad, M.Si. lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 3 April 1939, dan meninggal di Jakarta, 11 Desember 2016 pada umur 77 tahun. Mar’ie adalah Menteri Keuangan (1993-1998) pada pemerintahan Presiden Soeharto. Ia diberi gelar Mr. Clean karena perjuangannya memberantas korupsi di eranya, yang masih sarat dengan korupsi.

Pendidikan terakhirnya adalah Master of Arts In Economics, Universitas Indonesia. Pada 1969 – 1972, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Departemen Keuangan RI. Pada 1972-1988, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN Departemen Keuangan RI, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur.

Tahun 1988-1993, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan sebagai Direktur Jenderal (Dirjen). Pada 1993-1998, ia jadi Menteri Keuangan Kabinet Pembangungan VI. Sesudah tak jadi menteri, pada 2001-2004 ia menjabat Ketua Oversight Committee (OC) BPPN.

Tahun 1999 – 2009, ia menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Sebelum wafat, ia sempat menjabat Ketua Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI), Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Komisaris Utama PT Bank Syariah Mega Indonesia. Mar’ie wafat karena sakit infeksi paru-paru di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta, pada Minggu, 11 Desember 2016, pukul 01.37 WIB.

Banyak orang menjulukinya sebagai “Mr. Clean.” “Clean” yang artinya bersih sangat pas, mengingat besarnya jasa Mar’ie dalam membangun Kementerian Keuangan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013, Mahfud MD mengatakan, Mar’ie layak mendapatkan predikat itu karena mampu mengelola harta kekayaan negara dengan cara-cara yang bersih dan transparan.

“Dia punya peluang yang besar karena dia Menkeu, apalagi saat zaman Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ketika itu. Tapi dia tidak ada indikasi sedikitpun, untuk memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh keuntungan diri sendiri,” ujar Mahfud.

“Orangnya sederhana sampai akhir hayat. Rumahnya tetap segitu-segitu saja. Itu bersih namanya. Tidak ada indikasi atau berita kesalahan penyalahgunaan uang. Beberapa kali ke rumah saya bawa makanan nasi bungkus kebuli, buat di makan sama-sama, padahal saya waktu itu Ketua MK lho,” jelas Mahfud.

Mahfud menambahkan, Mar’ie kerap menasehati supaya semua menjaga dan mensyukuri memiliki Indonesia. Negara ini, diharapkannya, tidak dikotori oleh sikap-sikap koruptif, yang di dalamnya termasuk korupsi. “Memberi pelajaran ke kita bahwa sekaya apapun, manusia akan kembali ke tempat 2 meter kayak gini (liang lahat),” lanjut Mahfud.

‎Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menilai, sosok pejabat negara seperti Mar’ie di negara ini sangat langka. Pejabat yang betul-betul merefleksikan kesederhanaan kepada seluruh masyarakat.

“Ini langka sekali. Dia tidak minta satu sen uang negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Hanya haknya saja. Bu Menteri (Sri Mulyani) sudah buat ‎surat atau endorsement yang betul-betul ini harus jadi contoh Kemenkeu dan rakyat, karena beliau banyak melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat, tidak mau tandatangan kalau tidak berhubungan dengan rakyat,” tutur Mardiasmo.

Sebelum wafat, Mar’ie berpesan kepada keluarganya untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum biasa. Anak angkat Mar’ie, Muhammad Nurdi, yang tinggal bersama Mar’ie sejak kecil, mengatakan, Mar’ie selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak-anaknya.

“Tak mengambil hal-hal kecil yang bukan milik kita, apalagi yang besar,” ujarnya. Anak-anak Mar’ie juga tak ada yang bekerja sebagai pegawai negeri. Mereka memilih bekerja di kantor swasta.

Mar’ie meninggalkan istri bernama Ayu Resmayati serta tiga anak, yakni Rifki Muhammad, Rifina Muhammad, dan Rahmasari Muhammad. Mar’ie juga meninggalkan satu cucu laki-laki dan empat cucu perempuan. Setelah disalatkan di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan, jenazah Mar’ie dimakamkan di TPU Tanah Kusir, tepatnya di Blok AA1 Blad 44. ***

Artikel ini ditulis oleh: