Jakarta, Aktual.co —Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Achmad Shiddiq sangat dikenal. Pemikiran tokoh yang pernah menjabat Rais Am Syuriah PBNU ini ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa. Ia berjasa menyusun kajian penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU dalam Munas Alim Ulama 1983. Hebatnya, penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU itu kemudian diikuti ormas lain.

KH Achmad Shiddiq, yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada 24 Januari 1926. Ia adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH Yusuf.Ia ditinggal ayahnya dalam usia 8 tahun. Sebelumnya pada usia 4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya, yang wafat di tengah perjalanan di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah haji.

Jadi, sejak usia anak-anak, Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, kakaknya Kyai Machfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh Achmad, yang memiliki watak sabar, tenang, dan sangat cerdas. Wawasan berpikirmya amat luas, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Kyai Achmad belajar mengaji mula-mula pada ayahnya sendiri. Achmad juga banyak menimba ilmu dari kakaknya Kyai Machfudz. Banyak kitab kuning yang diajarkan kakaknya itu.

Kyai Machfudz lalu mengirim Achmad menimba ilmu di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Pribadinya yang tenang menjadikan Kyai Achmad disegani teman-temannya. Gaya bicaranya khas dan memikat, sehingga dalam setiap khotbah banyak santri yang mengaguminya. Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai Achmad berkawan dengan Kyai Muchith Muzadi, yang kemudian menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis. Khususnya yang menyangkut ke-NU-an, dan kemudian tentang Pancasila sebagai asas tunggal organisasi NU.

Latar belakangnya, ketika Presiden Soeharto “baru” berkuasa, warga NU dilanda kegelisahan. Pasalnya, ketika itu Soeharto hampir-hampir menjadikan Pancasila seperti agama. Merespon kegelisahan itu, akhirnya KH As’ad Syamsul Arifin mendatangi Soeharto. Intinya untuk mengkonfirmasi sekaligus mempertegas soal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, sedangkan agama sebagai dasar hidup kita bersama.

Kemudian, PBNU membentuk tim yang terdiri dari Kiai Ali Maksum, Kiai Mahrus Ali, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Achmad Shiddiq, dan Kiai Masykur. Tim itu menyepakati untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar organisasi NU. Pada saat itu, belum ada organisasi lain yang menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi.

Tim itu juga mengamanati Kiai Achmad Shiddiq untuk membuat kajian dan rumusan yang terkait dengan kesepakatan tersebut. Dengan usaha keras selama dua bulan penuh, rumusan yang tebalnya 34 halaman itu selesai, dan lalu dipresentasikan pada Munas Alim Ulama 1983.

Kiai Achmad Shiddiq berhasil meyakinkan para kiai, peserta Munas untuk menyetujui dokumen hubungan Islam dan Pancasila. Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Malah, butir-butir dalam Pancasila adalah wujud dari nilai-nilai Islam. Kiai Achmad Shiddiq mampu membuat argumen yang masuk akal.

Secara substansial, Pancasila sangat islami. Sila pertamanya yang menjiwai sila-sila lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat Islam.

Merunut sejarah, awalnya umat Islam keberatan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Namun karena kesadaran yang luar biasa dari para ulama akan  pentingnya persatuan, akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara. Dalam dinamikanya, Kiai Achmad Shiddiq berhasil meyakinkan para ulama bahwa Pancasila itu sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan rumusan hasil kajian Kiai Achmad Shiddiq itulah, akhirnya NU bulat menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

Achmad Shiddiq meninggal pada 23 Januari 1991, dalam usia 64 tahun. Karena peran dan jasanya yang besar itulah, Universitas Jember pada 25 Mei 2015 menggelar lokakarya penyusunan naskah akademik, bagi pengusulan KH Achmad Shiddiq sebagai pahlawan nasional.

Artikel ini ditulis oleh: