Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, usaha mendekati Tuhan dengan cara masuk lewat suatu jalan tetapi juga belajar cara masuk dari jalan lain ditunjukkan oleh Ni Wayan Gedong, yang dikenal dengan Ibu Gedong Oka.

Ibu Gedong lahir di Karangasem, Bali, pada 3 Oktober 1921, sebagai putri dari pasangan I Komang Layang dan Ni Komang Pupuh. Ayahnya yang bekerja sebagai Sekretaris Karangasemraad (peradilan adat zaman Belanda) adalah penganut agama Hindu-Bali yang berpikiran terbuka, dengan memberikan kebebasan kepada Gedong untuk menempuh cita-citanya.

Memulai pendidikannya pada usia 6 tahun di sekolah dasar Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Klungkung, Gedong kecil kemudian dikirim ke Jawa untuk melanjutkan studinya ke sekolah menengah Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, Gedong tinggal di rumah Prof. J.H. Bavinck, seorang pendeta dan dosen Belanda yang saat itu mengajar di Sekolah Tinggi Theologia “Duta Wacana”.

Lingkungan baru inilah yang memperkenalkannya dengan nilai-nilai etis dan kerohanian Kristen yang memperkaya pengembangan spiritualnya. Pemahaman tentang kekristenan semakin ia dalami ketika ia melanjutkan studinya ke sekolah keguruan di Christelijke Paedagogische Algemene School di Batavia. Meskipun demikian, Gedong tetap berpegang teguh pada tradisi Hindunya.

Berpegang teguh pada tradisi Hindu, namun memiliki pengenalan yang baik tentang nilai-nilai kerohanian Kristen, mendekatkannya pada Mahatma Gandhi. Bapak bangsa India itu lahir dari tradisi Hindu yang kental, tetapi juga memahami Kristen dengan baik. Dengan mengikuti ajaran Gandhi, Ibu Gedong lantas mengobarkan perjuangan melalui jalan Ahimsa (anti kekerasan) dan Satyagraha (kekuatan kebenaran).

Ia melatih kedisiplinan rohani secara ketat. Setiap pagi, sekitar pukul 04.30, ia pasti melakukan puja. Karena menurut keyakinannya, puja atau doa itu bisa mengubah keadaan. Bersamaan dengan itu, ia juga bersikap konsisten berpihak kepada orang-orang yang tertindas secara sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Udayana pada 1964, Ibu Gedong aktif sebagai dosen bahasa Inggris dan memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan. Ia melihat kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk insan berwatak, dan oleh karena itu gigih berjuang agar pendidikan karakter diberikan sedini mungkin dalam kurikulum sekolah. Dalam kaitan ini, ia terinspirasi pendapat Gandhi bahwa “Pendidikan adalah untuk menggali segala sesuatu yang baik dalam diri manusia.” Ia menunjukkan kesejatiannya soal watak ini, dengan tidak mudah terbius iming-iming penghargaan. Beberapa kali ia menolak pemberian gelar dari luar negeri seperti dari Universitas PBB di Tokyo dan Oxford di Inggris.

Untuk mengembangkan jalan Ahimsa dan Satyagraha sebagai gerakan kultural, ia mendirikan Ashram Gandhi Canti Dasa, di Candidasa, Karangasem, pada tahun 1976, yang segera dikenal secara internasional. Selain melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap ajaran Hindu, khususnya yang menyangkut kesetaraan dan keadilan, ia aktif dalam dialog antar-agama di berbagai tingkatan.

Kepergiannya untuk selama-lamanya pada 14 November 2002 dikenang sebagai tokoh perdamaian dan kerukunan antaragama.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)