Jakarta, Aktual.com — Setelah meletakkan tatah besi dan palu dari kayu di sampingnya, lelaki bertubuh gendut itu memindahkan kacamata plus berbingkai warna hitam ke dahi, lalu duduk di atas selembar kertas karton.

I Wayan Balik Suratmaja, nama lelaki yang berasal dari Ubud, Bali tersebut. Ia menyeruput kopi hitam yang disediakan oleh salah seorang anak gadisnya, siang itu, kemudian ia memandangi calon karya pahatnya terbuat dari akar kayu.

Bahan baku berupa akar pohon, dikatakannya, diambil dari halaman sekolah tempatnya mengajar di Kota Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, sebelum musim liburan sekolah.

Musim liburan sekolah 2015 terasa panjang, karena seolah-olah bersambung dengan masa libur Lebaran tahun ini. Masa libur sekolah mulai 22 Juni-8 Juli 2015, kemudian selama 9-11 Juli sebagai awal tahun ajaran baru, dan selanjutnya masa liburan Lebaran untuk anak-anak sekolah mulai 12-27 Juli.

Sebagaimana kebiasaan saat masa liburan sekolah, Wayan yang sejak 1999 mengampu mata pelajaran Fisika di SMA Negeri 5 Kota Magelang itu mengikuti naluri asyiknya sejak kecil, yakni membuat karya pahat dari kayu.

“Tak ada target harus segera jadi. Hanya untuk koleksi sendiri,” ucap warga Perumahan Pondok Rejo Asri II, Desa Donorojo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.

Ruang tamu dan bagian teras rumahnya berhias berbagai karya pahat suami Erlina Sungkawati dengan karunia dua anak perempuan sudah menginjak remaja itu, yang dibuat setiap kali masa liburan sekolah.

Berbagai karya pahat kayu yang menghiasi dinding rumahnya itu, antara lain tentang tokoh wayang Kumbakarna, Anoman, Rama, Sinta, dekoratif satwa, keris gaya bali, ukiran pigura motif Bali, dan karya lainnya yang berbentuk figuratif.

Saat jeda mengukir akar kayu menjadi karya seni dengan ornamen dekoratif berbagai satwa burung pada siang itu, ia pun bercerita tentang sejumlah sosok seniman pahat yang kondang dari Pulau Dewata, termasuk dari kampung halamannya di Ubud, Kabupaten Giayar, seperti I Nyoman Tjokot, Ida Bagus Tilem, I Ketut Arnawa, dan Ida Bagus Nyana.

“Saya ini autodidak, karena lingkungan masa kecil saya di Ubud boleh dibilang kampung pemahat. Saya juga tidak tahu aliran apa karya saya ini,” tutur Wayan yang disampingnya duduk, berderet sekitar 30 pahat dari besi baja berbagai ukuran.

Membuat karya pahat menjadi keasyikan Wayan dengan dirinya sendiri karena hanya dilakukan saat liburan sekolah. Hingga saat ini, ia belum memberi judul untuk puluhan karya pahat yang terpampang, menghiasi dinding rumah sederhananya, namun eksotik.

“Kalau hari sekolah, ya sibuk mengajar dan kegiatan sekolah. Baru kalau liburan seperti ini, bisa bikin patung,” ujarnya dalam logat Bali.

Bahan baku untuk karya pahatnya, dikumpulkan kapan saja ketika ia menjumpai limbah kayu di manapun, antara lain bekas kayu meja dan kursi sekolah yang tak lagi terpakai atau potongan kayu bakar di tempat pembuatan batu bata dan pemotongan pohon.

Asalkan tertarik dengan potongan kayu jenis apapun, meskipun limbah, diambilnya kayu itu untuk disimpan di rumahnya, menjadi bakal pengisi waktu berasyik membuat karya pahat.

“Ingin pameran, tapi entah kapan. Tak punya target juga,” paparnya.

Mengisi masa liburan panjang sekolah dalam kemasan asyik dengan diri sendiri, juga dilakukan perempuan guru mata pelajaran Biologi di SMA Negeri 1 Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Tentrem Lestari.

Selama liburan sekolah pada 2015, ia asyik di rumahnya dengan komputer jinjing, menuangkan kumpulan gagasan, inspirasi, dan catatan harian selama ini untuk menjadi novel yang bakal diberi judul “Lorong Cahaya”.

“Untuk novel, ini yang pertama. Tidak ada target harus kapan selesai. Namun, proses ide dan catatan-catatan tersebar di buku harian, sudah sekitar dua tahun terakhir. Tahun ini mulai ditulis untuk novel,” timpalnya siang itu di rumahnya, di Lingkungan Bojong II, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Dengan didampingi suaminya, Nindito (57) yang guru mata pelajaran Multimedia di SMA Muhammadiyah 1 Muntilan Kabupaten Magelang, Tentrem yang di sekolahnya juga pendamping kegiatan ekstrakurikuler teater dan film itu, menyebut penulisan novelnya telah mencapai sekitar 20-40 persen.

Novel “Lorong Cahaya” yang sedang dikerjakan setiap waktu di rumahnya, termasuk setelah saat sahur, siang hari, ataupun hingga larut malam setelah Shalat Tarawih itu, bercerita tentang dua tokoh utama, orang biasa, yang tanpa sengaja dipertemukan dalam perjalanan hidup.

Karya novel itu, juga terkait dengan pencarian eksistensi manusia, kegamanan menghadapi situasi sosial politik, dan mengenai nilai-nilai ketuhanan.

Inspirasi atas novel itu, suatu kali diperkuat oleh lukisan “drawing” karya seorang kawannya yang juga seniman Magelang, Agus “Merapi” Suyitno, yang ikut dipamerkan oleh Forum Kilometer Nol di Rumah Buku Dunia Tera, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, beberapa waktu lalu.

Lukisan tanpa judul tersebut, berupa kepala Buddha berwarna putih yang sepertinya menyorotkan cahaya hingga menerpa lorong bergambar beberapa orang di dinding suatu bangunan.

“Akhirnya lukisan itu diberikan kepada saya,” kata Tentrem yang juga pegiat sejumlah komunitas seniman setempat, seperti Forum Kilometer Nol, Mendut Institut, dan Koperasi Sinema Mandiri.

Perempuan berjilbab yang juga menulis beberapa naskah film dan teater itu, mengaku gembira mempunyai jalur asyik berkesenian yang seolah bertolak belakang dengan mata pelajaran Biologi yang diampunya di sekolah yang juga dikenal dengan sebutan “SMA Tidar” itu.

“Sepertinya ‘out of the box’. Lha wong ini sudah menjadi ‘passion’ kok yo,” kata salah satu pemain dalam Film “Sang Pencerah” (Film tentang sejarah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, red.) dan juga bermain film dalam sejumlah judul untuk program tayangan FTV itu.

Wayan Suriatmaja dan Tentrem Lestari, barangkali hanyalah sebagian kecil contoh sosok guru yang memiliki gereget naluriah di luar jalur aktivitas keseharian mengajar para siswa di sekolah.

Tentu banyak lagi lainnya dari kalangan mereka yang mengisi libur panjang dengan menuangkan energi kreatif melalui bakat masing-masing, dengan harapan menginspirasi orang lain, sebagaimana pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

“Guru harus bisa diingat, yaitu guru yang menginspirasi. Tugas guru jadi guru yang menginspirasi anak, menjadikan anak terkesan dalam hidupnya,” katanya saat bertandang ke SMP Negeri 1 Kota Magelang beberapa waktu lalu.

Termasuk asyik, guru mengisi liburan sekolah seperti itu, semoga menginspirasi para siswa.

Artikel ini ditulis oleh: