Hasil perundingan yang memberikan waktu pembangunan smelter hingga tahun 2022 kepada Freeport merupakan kesepakatan yang tidak sesui dengan UU No 4 tahun 2009. (ilustrasi/aktual.com)
Jakarta, Aktual.com –  Pemerintah mengaku telah mencapai kesepatakan final dengan PT Freeport Indonesia dalam pertemuan hari Minggu 27 Agustus 2017, yang dihadiri oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta President dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson.
Kesepakatan itu tertuang dalam hal perubahan bentuk landasan hukum pengusahaan pertambangan dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus. Kemudian disepakati pula akan melakukan Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan Nasional Indonesia, kewajiban pembangunan smelter paling lambat 2022 dan stabilitas penerimaan negara serta persetujuan perpanjangan masa operasi hinggal maksimal 2×10 tahun hingga 2041 dengan syarat PTFI menyepakati klausul 1 sampai 4 pada poin sebelumnya.
Koordinator Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah menyatakan, poin kesepakatan tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut, untuk memberikan kepastian yang lebih baik bagi pengelolaan dan kedaulatan pertambangan nasional. Hal tersebut mengingat bahwa kewajiban divestasi dan pembangunan smelter bukanlah hal baru, kedua hal tersebut telah tercantum di dalam Kontrak Karya dan persetujuan sebelum izin konsentrat diberikan Pemerintah.
“Yang sangat disayangkan, mengapa Pemerintah terkesan mengejar divestasi 51 persen di tengah kontrak yang menjelang habis per tahun 2021. Bukankah per-2021 cadangan mineral Freeport di Papua menjadi milik Indonesia semua? Sedangkan upaya divestasi di awal tahun 2016 saja sulit mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak karena perbedaan penafsiran nilai divestasi 10,64 persen antara Freeport VS Pemerintah (Rp 23,6 Triliun VS Rp 8,19 Triliun). Logikanya, bukankah ini hampir mirip dengan meminta Indonesia membiayai pembangunan smelter melalui divestasi hingga 51 persen,” kata dia melalui keterangan persenya, Kamis (31/8).
Lebih lanjut Maryati menambahkan, banyak arena critical yang masih kosong dan rawan terjadinya perselisihan ataupun deadlock yang patut diwaspadai oleh Pemerintah dan memerlukan pengawasan publik, termasuk pengawasan oleh DPR.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Wisnu