Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, cinta yang tulus bisa terpancar menembus batas-batas suku, agama dan kelas sosial. Cinta altruis laksana sang surya yang menyinari tanpa kecuali; seperti air yang siap mengaliri-melayani tempat terendah. Salah satu contoh dari mahadaya cinta seperti itu ditunjukan oleh Raden Mas Soewardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara).

Pada suatu ketika, tatkala Soewardi masih kecil, sang bunda mengajaknya berkunjung ke Candi Borobudur. Sambil memandang kemegahan candi, sang bunda berkata, “Anakku Suwardi, lihatlah stupa di pundak candi itu. Manis dan indah, bukan? Tetapi ketahuilah Wardi, bahwa stupa itu tak akan berada di puncak candi jikalau tidak ada batu-batu dasar yang mendukungnya.

Itulah ibaratnya rakyat jelata, itulah gambaran para budak dan hamba sahaya para raja. Oleh sebab itu, jikalau Tuhan memang menakdirkan dirimu menjadi raja, janganlah kau lupa kepada rakyat jelata yang menaikkan dirimu ke atas puncak dari segala puncak kemegahan kerajaan warisan nenek moyangmu. Cintailah dan hargailah sesamamu, terutama rakyatmu yang menderita dan memerlukan uluran tanganmu” (Rahardjo, 2010: 94).

Lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, Soewardi adalah putra kedua dari Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Surjaningrat yang merupakan putra tertua dari Paku Alam III, raja Keraton Pakualaman. Dengan demikian, ayah Soewardi adalah putra mahkota. Namun, hak naik takhta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.

Meski lahir dari keluarga bangsawan, pada Soewardi mengalir trah pemimpin pejuang (Paku Alam III) yang amat keras menentang penjajahan Belanda. Selain itu, nasihat-nasihat ibunya yang sangat humanis itu rupanya berpengaruh besar dalam proses pembentukan karakter Soewardi sebagai seorang yang humanis-populis.

Soewardi kecil pernah mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Kalasan di bawah asuhan K.H. Abdurrahman. Pengalaman mengaji di pesantren memberinya kesempatan berinteraksi dengan anak-anak dari kalangan rakyat biasa. Karena kehangatan pergaulan dan ketulusan rasa kemanusiannya, sejak kecil ia terbiasa mengajak teman-temannya dari kalangan rakyat jelata untuk bermain atau menonton pagelaran Wayang Kulit dan pertunjukan kesenian lainnya dalam Pura Pakualaman.

Salah seorang teman kental Soewardi dari kalangan rakyat jelata ini bernama Sariman. Nama terakhir ini menimbulkan rangsangan kesadaran kerakyatan dan perikemanusiaan yang kuat pada diri Soewardi. Suatu ketika, Soewardi bukan main girangnya mendengar Ayahnya telah berunding dengan J.H. Abendanon untuk memasukkannya ke sekolah dasar untuk orang Eropa (ELS).

Terbayang olehnya, ia pun kelak bisa menjadi pemimpin-pemikir seperti Sultan Agung atau pujangga agung seperti Mas Ngabehi Ronggowarsito. Kabar gembira itu pun segera ia sampaikan kepada Sariman dan teman-teman jelata lainnya. “Man, tidakkah kamu juga ingin sekolah seperti aku? Aku diperbolehkan masuk sekolah ELS seperti orang-orang Belanda,” ujar Soewardi. “Tentu.

Tapi, bagaimana mungkin Denmas, hamba ini hanyalah anak kebanyakan,” timpal Sariman. “Jangan khawatir Man, aku akan membicarakan dengan ayahku agar beliau dapat mengizinkanku dapat bersekolah bersamamu di ELS,” janji Soewardi. Suatu janji yang membuatnya sedih bukan kepalang tatkala menyadari kemustahilan mengajak anak jelata untuk bisa masuk ke ELS, sedang ke sekolah dasar untuk anak-anak pribumi pun masih dalam tahap percobaan. Kegalauan inilah yang memberi Soewardi kesadaran bahwa Sariman dan anak-anak jelata itu mewakili anak-anak bangsa yang terjajah, yang tidak bisa berharap bisa dibebaskan oleh belas kasih politik etis kaum penjajah, kecuali ditolong oleh tangan-tangan kasih bangsanya sendiri.

Ketika tiba saatnya Soewardi akan diangkat menjadi Raja Pakualaman, menyadari potensi keretakan hubungan keluarga karena perebutan takhta, Soewardi memilih mengundurkan diri dari pencalonan raja. Kepada kedua orang tuanya ia berkata, “Ayah dan bunda, mohon ampun bila keputusan saya tak sesuai dengan keinginan ayah-bunda. Namun, demi pertimbangan kemanusiaan, saya berkeberatan untuk menerima mahkota dan singgasana kerajaan. Bagi saya tidaklah penting siapa yang duduk di atas singgasana dan menjadi raja, sebab kunci pelepas kesengsaraan kaum pribumi yaitu seluruh bangsa kita tidak terletak pada soal siapa yang menjadi raja, namun jawaban atas satu pertanyaan, siapakah yang mau berjuang membebaskan bangsa kita dari penjajahan Belanda” (Rahardjo, 2010: 94-96).

Dari ELS, Soewardi melanjutkan studinya ke sekolah guru Kweekschool. Cuma bertahan satu tahun, ia lantas pindah ke sekolah dokter pribumi School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Di sekolah ini pun ia tidak sampai lulus; hanya menjalaninya selama lima tahun. Karena alasan sakit selama empat bulan membuatnya tidak naik kelas; karena alasan politis, beasiswanya pun dicabut. Pencabutan beasiswa terjadi setelah dalam suatu pertemuan Soewardi membacakan sajak karya Multatuli, yang menggambarkan kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, panglima perang Pangeran Diponegoro.

Keesokan harinya, ia dipanggil oleh Direktur STOVIA, dan dimarahi habis-habisan dengan tuduhan telah membangkitkan semangat pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dengan kedua alasan itu, Soewardi keluar dari STOVIA.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid