Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com — Ini data yang cukup mencengangkan. Lewat rel kereta api cepat, Tiongkok ingin menghubungkan 40 sekitar negara Asia, Afrika, Timur Tengah dan Eropa berdasarkan rute ekonomi jalur sutera (Silk Road Economic Belt) kuno yang sudah dibuat leluhurnya.

Untuk visi besar geopolitik dan geoekonomi itu, PM Lie Keqiang menjadikan dirinya sebagai “top salesman” untuk menjual kereta api cepat. Kieqang yakin, dengan menguasai infrastruktur transportasi darat global maka Tingkok akan memutus banyak persoalan di sistem trasportasi maritim global yang sekarang mulai naik tensinya ke arah peperangan.
Keqiang yakin juga, dengan suksesnya beberapa kontrak penting kereta api cepat di AS, Eropa, Afrika, Timur tengah, India, Russia, Amerika Latin, dan Asia (termasuk Indonesia) maka ‘energi’ politik dan ekonomi untuk mempertahankan kepentigan maritimnya di kawasan Selat Malaka dan Timur Tengah akan berkurang.

Keqiang juga sangat optimistis dengan ini: bahwa, ke depan, Tiongkok akan mampu mengekspor barang ke Barat hanya dengan waktu 15 hari dibandingkan dengan menggunakan kapal laut (resiko dan cost-nya cukup besar) yang rata-rata membutuhkan waktu lebih dari 35 hari.

Layak, Keqiang menyatakan bahwa Industri Kereta Api Cepat Tiongkok akan menjadi kunci penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi negaranya.

Lalu, apa strategi Tiongkok untuk semua itu?

Pada 2014 lalu, Tiongkok sebenarnya telah membentuk semacam lembaga keuangan khusus untuk membiaya proyek-proyek infrastruktur darat dan laut yang menghubungkan akan seluruh negara-negara di Asia.

Lewat “Marine Silk Road Investment Management Fund” dan beberapa dukungan keuangan dari beberapa negara Asean, Tiongkok bersedia setor uang sekitar USD40 triliun untuk membantu mengembangkan proyek-proyek infrastruktur darat dan laut di Asia. Tiongkok bahkan memainkan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk memenangkan proyek-proyek infrastrukturnya di India, Afrika, Timur Tengah dan Russia.

Langkah ini membuat langkah IMF dan World Bank di proyek globalnya di Asia dalam kerangka “Green Funds for Climate Change” terganjal. Ini juga yang membuat tensi geopolitik dan geoekonomi antara AS (plus sekutunya) dan Tiongkok di Laut China Selatan sempat memanas.

Namun, tensi itu mulai turun ketika Presiden Jinping dan Presiden Obama bertemu di Washington beberapa saat lalu. Pascapertemuan itu, secara mengejutkan, Obama menerima proposal Tiongkok untuk membangun konstruksi kereta api cepat pertama di AS yakni jalur Los Angeles – Las Vegas.

New York Times menulis langkah Tiongkok ini seperti ini: “Xi is obsessed with strategic rivalry with the United States.” Di sisi lain, langkah Obama menerima tawaran Tiongkok itu ditentang banyak politisi di Senat AS yang sampai saat ini menganggap Tiongkok adalah “musuh besar” AS dalam konteks persaingan geopolitik global. Di samping alasan ekonomis dibalik perjanjian itu.

Akan halnya Eropa, Tiongkok juga tak ingin memanaskan tensi geopolitiknya dengan Eropa. Tiongkok sadar dengan cara me-reverse engineering teknologi kereta api cepat dari Siemens (Jerman), Alstom (Perancis) dan Bombardier (Canada) dan Kawasaki (Jepang) maka Tiongkok bisa menguasai pasar global kerata api cepat. Ya, tanpa perusahaan-perusahaan yang pernah leading di industri kereta api cepat itu maka Tiongkok tidak bisa punya kereta api cepat.

Tiongkok saat ini merangkul mereka untuk menjadi partner penting untuk mewujudkan impian besarnya. Bombardier Transportation misalnya, beberapa saat lalu mendapat kontrak dari China Railway Corp. (CRC) untuk menyuplai 15 kereta api super cepat CRH380D dengan total USD381 juta. Begitu pula dengan yang lainnya.

Mengapa Tiongkok lebih memilih jalan “damai”?

Tensi pertarungan geopolitik di Asia sempat menguat akibat beberapa tekanan skema geopolitik Tiongkok “Silk Road Economic Belt” versus skema geopolitik AS dan Eropa dengan bungkus “Green Economy and Climate Change”.

Rupanya strategi Sun Tzu dalam hal “menang tanpa melakukan peperangan” kali ini benar-benar digunakan pemerintah Tiongkok. Langkah win-win solution mulai diperlihatkan pemerintah China untuk memuluskan mimpi besarnya.

Tiongkok melihat, AS dan Eropa mulai cemas melihat sisi lain dari kontrak besar senilai USD25 triliun beberapa saat lalau antara Russian Railways dan China’s National Development and Reform Commission untuk menghubungkan Moskow dan Beijing lewat jalur kereta api cepat.

Dalam kontrak itu, Russia dan China sepakat untuk membangun 7000 jaringan rel kereta api untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Asia Tengah. Namun yang membuat AS dan Eropa berpikir panjang adalah bahwa perjanjian itu juga menyertakan beberapa kerjasama lain yang membuat beberapa kepentingan geopolitik dan geoekonomi AS dan Eropa di Asia Pasific dan Afrika terancam.

Rencananya, jaringan rel tersebut akan berperan penting untuk mempercepat kerjasama ekplorasi dua lokasi sumber gas besar dan pembangunan pipa gas ke dua negara, kerjasama di sektor industri penerbangan pengembangan energi nuklir bersama dan mengembangkan pangkalan laut penting di Teluk Pasific yakni port Zarubino. Sekadar informasi, port Zarubino akan dikembangkan menjadi pangkalan laut terbesar di Asia Selatan. Rencananya, rel kereta api cepat akan menghubungkan Zarubino ke Vladivostok lewat jalur selatan, ke Jilin di Tiongkok lewat jalur barat dan ke Rajin, Korea Utara lewat jalur Khasan.

Jadi pertemuan Jinping dan Obama itu juga harus dibaca sebagai langkah AS untuk menyeimbangkan penetrasi geopolitik China dan Russia.

Dan ada fakta penting lain dibalik kontrak kereta api cepat Tiongkok-AS itu adalah MoU antara Tiongkok dan AS untuk mengembangkan proyek ‘Green Economy’ berupa pembangunan 60 Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Kenya. Proyek kerjasama antara China National Machinery Industry Corp. dan General Electric Co tersebut menelan investasi sebesar USD327 juta.

Dalam kesempatan itu juga, Washington juga menekan Tiongkok untuk mengembangkan kerjasama membuat pesawat komersial (bekerjasama dengan Boeing) untuk menyeimbangkan keinginan Russia mengembangkan pesawat komersial serupa dengan China. Itu belum beberapa agenda kerjasama lain di bidang perdagangan, energi, keuangan, penerbangan pertahanan dan infrastruktur lainnya.

Dalam sebuah kolomnya BBC menulis seperti ini, “China has advantages in this game: enormous economies of scale, the absence of a political cycle to disrupt long-term planning, state-owned rail builders with deep pockets, and not least control of the media”.

Sesungguhnya, pertemuan Jinping dan Obama itu adalah momen penting babak baru “bagi-bagi proyek global”. Dalam beberapa hal, kedua negara adidaya tersebut sepakat untuk menyelamatkan beberapa kepentingan besarnya di balik visi Silk Road Economic Belt dan Green Economy and Climate Change. Ini sangat mengganggu kepentingan Russia.

Lantas, apa artinya buat Indonesia?

Sederhana. Babak “bagi-bagi proyek global” antara Tiongkok dan AS (plus sekutunya Eropa misalnya) akan terjadi juga di Indonesia. Negara ini, suka atau tidak suka, akan dipaksa untuk mengikuti skema bagi-bagi itu.

Ini jelas akan berimbas ke kondisi politik Indonesia. Politisi-politisi yang visinya hanya sebagai backing proyek-proyek perusahaan asing pada ribut semua. Birokrat atau politisi yang dapat ijon akan kelimpungan ketika proyek yang diinginkan pengijon terancam gagal.
Kasus kalahnya Jepang di proyek kereta api cepat misalnya. Ini jangan diartikan sebagai sekadar kekecewaan dan kemarahan Jepang terhadap pemerintah Indonesia. Tapi harus diartikan sebagai: Jepang harus mulai meninjau ulang kebijakan ekonomi dan politik internasionalnya di kawasan Asia, termasuk di Indonesia.

Sungguh miris dan sangat menyakitkan hati. Jika memang benar Tiongkok dan AS (plus sekutunya) hanya melihat Indonesia dan banyak negara Asia lain hanya negara tempat bagi-bagi jatah proyek global. Tak lebih…