Jakarta, Aktual.Com – Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean, menilai kemelut yang terjadi sekarang atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia (FI) seharusnya tidak perlu terjadi andai Kabinet Jokowi-JK tidak gagal paham dalam menyikapi KK yang masih berlaku.

“Pemerintah nampaknya salah mengartikan dan memaknai ketegasan yang tepat dan kesalahan yang tegas. Mestinya, kita bisa memiliki dan mengambil alih Freeport secara baik dan benar pasca 2021,” tulis Ferdinand, Rabu (22/2).

Baginya, Kabinet saat ini terutama Kementerian ESDM dibawah duet Ignasius Jonan dan Archandra Tahar serta dikomandoi Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Maritim, sangat patut diduga telah gagal paham tentang tata letak permasalahan Freeport.

Keberanian Pemerintah mengeluarkan PP 1/2017 sebenarnya patut diapresiasi sebagai langkah tepat dan harus didukung sebagai solusi jangka panjang. Namun, Ferdinand menyayangkan, pemerintah dibawah koordinasi Luhut, Jonan serta Archandra, nampak gagal paham harus menerapkan PP tersebut terhadap siapa saat ini.

“Bahkan ada kesan negatif bahwa motif PP itu sesungguhnya untuk mensiasati UU Minerba agar Freeport bisa ekspor konsentrat lagi secara terbuka dengan peralihan KK ke IUPK karena dalam UU Minerba tidak diatur tentang larangan ekspor terhadap rezim IUPK. Akal-akalan yang berujung masalah,” paparnya.

Memaksakan perubahan KK menjadi rezim IUPK adalah kesalahan yang tidak sepatutnya terjadi. Bahkan, melakukan negosiasi terhadap KK pun dilarang oleh UU Minerba sebelum 2 tahun menjelang berakhirnya KK, apalagi merubah status KK secara sepihak menjadi IUPK. KK menurut Ferdinand adalah sebuah ikatan keperdataan antara Pemerintah RI sebagai pemberi kontrak dengan PT Freeport Indonesia sebagai penerima.

Bicara hukum dan aturan, sambungnya, KK merupakan sebuah ikatan hukum yang sifatnya lex specialist. Ikatan kedua belah pihak adalah KK sejak ditandatangani hingga berakhir dengan dasar UU yang berlaku pada saat KK ditandatangani.

Apabila ada perubahan yang ingin mengikuti perubahan UU maka wajib atas kesepakatan dan persetujuan keduanya, tidak bisa sepihak. Sehingga, yang salah sebetulnya adalah substansi KK yang dipegang Freeport. KK dibuat terlalu berpihak kepada perusahaan tersebut, mungkin pertimbangannya adalah demi kemudahan investasi.

“Jadi wajar jika kemudian Freeport mengancam akan membawa masalah ini ke peradilan Arbitrase Internasional. Dapat dipastikan bila Freeport menempuh langkah hukum tersebut, Indonesia akan kalah, karena memang KK-nya lemah bagi posisi Indonesia sebagai pemilik wilayah pertambangan,” tandasnya.

Bagaimana Posisi Indonesia Seharusnya?

Ferdinand menilai, mestinya Indonesia menghormati KK yang sedang berjalan dan tidak melakukan hal-hal yang justru merugikan baik secara hukum maupun ekonomi. Rezim KK harus dihormati hingga 2021, sembari Pemerintah terus bernegosiasi dengan Freeport terkait sejumlah kewajiban sesuai perubahan UU, terutama menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian.

Diakhir masa pemerintahan SBY, Freeport dan Pemerintah pernah menandatangani MoU yang salah satunya terkait kewajiban dan komitmen pembangunan fasilitas permunian atau smelter. Harusnya, pemerintah fokus pada hal penyelesaian smelter lalu menyelesaikan proses divestasi saham hingga 30% sesuai KK.

“Jika dua hal tersebut sukses dilakukan, maka Indonesia akan lebih mudah melakukan negosiasi dengan Freeport terkait kelangsungan kontrak Freeport pasca berakhirnya KK dj 2021. Barulah setelah itu, Freeport diwajibkan mengikuti rezim IUPK sesuai UU Minerba dan PP 1/2017. Jika tidak bersedia, maka secara hukum Pemerintah tidak salah jika harus menghentikan operasi Freeport dan mengambil alih operasi tambang di Papua tersebut,” jelas Ferdinand.

Namun, kemelut pun terlanjur meruncing akibat kegagalpahaman Pemerintah. Freeport lantas memberi tenggat 120 hari untuk kembali menghormati KK, jika tidak, mereka akan membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional. Serupa, Menteri Jonan juga mengancam membawa Freeport ke Mahkamah yang sama.

“Ini jelas akan berdampak secara ekonomi kepada Indonesia. Disatu sisi kita mengundang investor tapi disisi lain kita tidak membuat kepastian kepada investasi yang sudah berjalan,” katanya.

Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah menurut Ferdinand ibarat mundur salah maju salah. Bila memilih mundur, Pemerintah akan dicap tunduk pada korporasi. Karenanya, Pemerintah wajib tetap mengambil langkah maju dengan segala risiko dari kesalahan yang sudah terjadi meski kesalahan itu dibumbui aroma nasionalisme.

Pemerintah harus tetap meneruskan apa yang sudah dimulai dengan menghadapi segala risiko ancaman Freeport. Atau pilihan lain, pemerintah mengeluarkan Perppu sebagai pengganti UU Minerba dan kemudian merubah PP sebagai solusi jalan tengah. Namun, ini pun bukan tidak berisiko.

“Yang pasti kemelut ini akan berujung pada gangguan penerimaan negara, pajak dan ketenagakerjaan di Papua. Kita dukung upaya pemerintah untuk bertindak tegas, tapi bukan melakukan kesalahan yang tegas. Semoga kemelut ini bukan permainan oknum-oknum di ranah kebijakan yang justru punya agenda dan kepentingan pribadi atau kelompok terkait kelangsungan Freeport. Kita dukung Pemerintah untuk berani tidak melanjutkan operasi Freeport pasca 2021,” kata Ferdinand.

Kepada Freeport, EWI pun meminta dan menyarankan agar tidak bertingkah semaunya dalam berinvestasi di Indonesia. Freeport harus menghornati hukum yang berlaku dan tunduk pada aturan sepanjang tidak merugikan Investasi mereka. Freeport harus menghormati bangsa ini secara benar dan jangan coba-coba mendikte dengan ancaman pemberhentian tenaga kerja dan Arbitrase.

“Presiden harus sangat berhati-hati dalam kemelut ini karena KK di Papua ini mengandung nilai yang sangat fantastis, ribuan trilliun. Tentu besarnya nilai ini akan mengundang nafsu para pemburu rente mengambil kesempatan meski dengan mengirimkan rIsiko kepada negara,” demikian Ferdinand.

Pewarta : Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs