Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, tahukah orang pertama yang mempopulerkan pekik merdeka sebagai salam kebangsaan dan yang pertama kali mengusulkan Soekarno-Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden? Orang itu bernama Otto Iskandar Di Nata.

Lahir di Bandung pada 31 Maret 1897, putra Lurah Bojongsoang Bandung (Rd. Nataatmaja) ini menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Atas di Purworejo, dan sejak tahun 1924 menjadi guru di HIS Negeri Pekalongan. Semasa tinggal di Pekalongan, Otto aktif di Budi Utomo, lalu menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad) Pekalongan.

Di Dewan Kota inilah ia mulai tampil sebagai sosok pejuang kemanusiaan yang kritis. Sikap pedulinya pada nasib rakyat mendorongnya bergerak menggugat ketidakadilan yang menimpa para petani yang dikenal dengan “Peristiwa Bendungan Kemuning”. Para petani disebut-sebut menjadi korban konspirasi penguasa dan pengusaha untuk mengambil-alih tanah milik petani.

Dalam rasa perikemanusiaan Otto, tanah adalah sumber penghidupan bagi petani. Kalau tanah yang dimiliki petani di Kemuning itu diambil paksa oleh pengusaha Perkebunan Tebu Wonopringgo demi perluasan lahan perkebunan atas restu Residen Pekalongan, J.F. Jasper, bagaimana nasib para petani, pikirnya. Yang terjadi adalah para petani mendapat ancaman.

Bila tidak menyerahkan tanahnya mereka dianggap sebagai orang yang melawan penguasa. Beberapa petani terpaksa menyerahkan tanahnya. Perkebunan Tebu Wonopringgo merupakan salah satu perkebunan besar di Pekalongan. Luas lahannya diperkirakan lebih dari 1.000 ha. Perkebunan ini dimiliki Ned Handelsmaatch dengan administraturnya J.H. van Blommestein. Perkebunannya sendiri berdiri sejak tahun 1844, pada era Tanam Paksa (Culturestelsel).

Otto tak terima keadaan yang dipandangnya tak adil ini. Pengusaha perkebunan harus mengembalikan tanah itu pada rakyat. Tetapi rupanya, Residen Pekalongan yang berada di belakang pengusaha perkebunan itu tidak setuju. Bahkan ia mengancam Otto akan dibuang ke Boven Digul bila terus menuntut pengembalian hak rakyat itu. Otto tak gentar mengahadapi ancaman itu. Bahkan ia pun kemudian dengan berani membongkar kasus penyiksaan kepala polisi terhadap rakyat.

Rupanya perjuangan Otto tidak sia-sia. Ia yang selama di Pekalongan memimpin pendirian Sekolah Kartini, berhasil. Rakyat bisa memperoleh kembali tanahnya. Residen Pekalongan dicopot dari jabatannya. Tetapi, pada tahun 1928, Otto dipindahkan ke Batavia, karena kekhawatiran pemerintah kolonial atas makin meluasnya pengaruh Otto setelah membela rakyat kecil untuk memperoleh keadilan.

Perjalanan hidup Otto akhirnya membawanya menjadi guru di HIS Muhammadiyah Batavia dan bergabung dengan Pagoeyoeban Pasoendan. Peran publiknya kian penting setelah ia menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) antara tahun 1930-1941 (Tamsyah, 2008).

Otto yang karena sikap kritisnya kemudian dijuluki ‘Si Jalak Harupat’ (burung Jalak yang berani) ini memang sejak duduk di Sekolah Guru Atas Purworejo sering membaca de Express asuhan Ernest Douwes Dekker, yang terlarang untuk dibaca siswa-siswa di sana. Gagasan nasionalisme, radikalisme, kemandirian, dan kemanusiaan yang ditularkan Douwes Dekker rupanya cukup mempengaruhi sikap politiknya.

Hidup Otto memang berwarna-warni. Berminat pada pendidikan, akhirnya ia bergerak dalam dunia pendidikan. Pernah pula ikut mengurus dan memimpin Persib Bandung, perserikatan sepakbola yang semula didirikan untuk tujuan perjuangan. Selain itu, sempat pula menjadi pemain bola dan bahkan wasit karena kegemarannya bermain bola.

Tetapi dari semua bidang yang digelutinya, Otto menunjukkan komitmennya yang lebih besar pada upaya perjuangan kemanusiaan melawan ketidakadilan yang dirasakan rakyat kecil. Baginya, kemerdekaan adalah sarana mencapai keadilan dan kemanusiaan. Tidak mengherankan bila kemudian ketika menulis di koran Tjahaja ia seperti berikrar atas apa yang hendak diperjuangkannya, “Kalaoe Indonesia merdeka boleh diteboes dengan djiwa seorang anak Indonesia, saja telah memadjoekan diri sebagai kandidat jang pertama oentoek pengorbanan ini” (Anshory dan Tjakrawerdaja, 2008).

Otto dikenang sebagai orang yang mempopulerkan pekik merdeka sebagai salam kemerdekaan-kebangsaan. Otto pulalah yang pertama kali mengusulkan agar Indonesia dipimpin pasangan Soekarno dan Mohammad Hatta dalam Sidang PPKI, pada 18 Agustus 1945. Di ujung hayatnya, nasib tragis menimpa pejuang kemanusiaan dan keadilan ini. Ia wafat dengan cara mengenaskan. Konon ia diculik oleh tentara NICA
(Netherlands-Indies Civil Administration, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dan dibunuh di Mauk, Tangerang. Jasadnya tidak diketahui dan dibuang ke mana.

Seluruh jejak-langkah dan tindak-tanduk Otto menggambarkan semangat perikemanusiaan yang adil dan beradab. Bahwa kehidupan manusia tidak bisa berjalan sehat dan lestari tanpa kesediaan hidup bersama semesta manusia dengan rasa saling mencintai. Hidup bersama dengan cinta berarti harus menghargai setiap orang dengan menjunjung tinggi hak-hak manusia (hak individu, hak warga, dan kolektif) dengan menegakkan kemerdekaan, perdamaian dunia, keadilan dan keadaban.

Dalam pandangan Soekarno, sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengandung prinsip-prinsip “internasionalisme” (perikemanusiaan dan persaudaraan dunia). Bahwa “tanah air kita Indonesia hanya bahagian kecil saja daripada dunia!” Lantas ditekankan bahwa yang ia maksud dengan “internasionalisme” atau “perikemanusiaan” itu bukanlah “kosmopolitanisme”—yang tidak mau adanya kebangsaan.

Dalam pandangannya, ‘nasionalisme’ dan ‘internasionalisme’ saling menyempurnakan: “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”

Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta menyimpulkan bahwa sila kedua Pancasila memiliki konsekuensi kedalam dan keluar. Kedalam, menjadi pedoman bagi negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia, dengan menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keluar, menjadi pedoman politik luar negeri bebas aktif dalam rangka “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Para pejuang kemanusiaan bisa berujung tragis, namun rohnya tetap abadi, memijarkan bintang penuntun di tengah kegelapan dan nestapa kemanusiaan. Di bawah tugu pahlawan (dikenal sebagai tugu tani) ada tulisan yang patut direnungkan, “Hanya bangsa yang dapat menghargai jasa pahlawannya yang dapat menjadi bangsa besar.”

 

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Artikel ini ditulis oleh: