(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang merasa “kok dia sih”. Itu merupakan dinamika yang terjadi di lapangan pasca kedua kubu yakni petahana Joko Widodo (capres) dan Prabowo Subianto (capres) mengumumkan calon wakil presiden untuk ikut bertarung di Pilpres 2019.

Alot dan menegangkan memang beberapa minggu terakhir ini, tentang siapa yang maju dalam kontestasi Pilpres 2019. Tapi lelah itu sudah terbayar pada hari Kamis 9 Agustus 2018 kemarin. Joko Widodo dan partai koalisi pemerintah telah memutuskan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Sedangkan Prabowo dan partai koalisinya memutuskan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai calon wakil presidennya.

Penyambutan lahirnya dua pasangan cawapres ini seragam. Misal, di pihak koalisi Jokowi, penerimaan Kiyai Ma’ruf agak sedikit berlainan, karena ada tarik ulur yang sengit dari nama-nama cawapres yang diusung. Apalagi, belakangan hampir semua partai koalisi menyodorkan ketua umumnya untuk menjadi cawapres.

Sementara, Prabowo ketika mengumumkan Sandiaga Uno sebagai wakilnya, semua pihak justeru malah menerima, meskipun agak sedikit mencengangkan. Terlebih, Sandiaga yang juga menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan kader Partai Gerindra.

Tapi ini menjadi menarik, karena “seolah-olah” penentu ada di cawapres. Misal KH Ma’ruf Amin yang diketahui ulama besar dan dirasa biasa meraup banyak suara. Sedangkan Sandiaga Uno notabenya hanya seorang pengusaha muda tentu tak bisa “mengambil” suara dari kalangan umat Islam. Itu artinya suara yang berbasis “agama” tentu sudah bisa ditebak.

Terlepas dari adanya jagoan partai koalisi yang ingin menjadi cawapres Jokowi. Tapi kali ini agak sedikit terdesak, karena dalam partai koalisi, cawapres yang diusulkan agak sedikit resisten dengan isu representasi umat.

Isu agama belakangan ini memang menimbulkan banyak korban. Isu ini memang menjadi isu yang paling menengangkan semenjak Jokowi-Ahok memulai masa pemerintahannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Terlebih, makin santer ketika Ahok maju kembali di Pilkada DKI Jakarta.

Ibarat bendungan jebol, isu agama ini memang tak terbendung. Ditambah ketika Ahok menistakan agama Islam melalui surat Al-Maidah ayat 51. Atas hal itu pula Ahok divonis dua tahun penjara. Isu itu kemudian seolah “menghantui” kubu Jokowi.

Padahal, isu SARA ini sengaja dibuat untuk mengadu domba. Harian ternama media Inggris, The Guardian diketahui telah membongkar praktek penggunaan puluhan ribu akun media sosial palsu oleh pendukung Ahok ketika dia kembali mencalonkan diri di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Seorang tim siber tersebut bahkan mengklaim bahwa dia dan timnya memang bekerja untuk menyebarkan fitnah, kebencian, dan SARA dengan tujuan menyerang lawan Ahok atau siapa saja yang berseberangan dengan mereka.

Berbagai taktik telah dilakukan, dan berbagai langkah diambil, isu dimainkan. Tapi solidaritas Islam belakangan ini semakin kuat. Dalam keadaan itulah, para politisi dari partai yang telah mengkampanyekan radikalisme dan menjadi biang lahirnya solidaritas Islam akibat tuduhan SARA kepada umat Islam, merasa perlu mencari simpati.

Mereka ibarat telah menyulutkan api yang tidak mampu lagi mereka padamkan. Api itu adalah ‘semangat persatuan’ yang lahir dari keresahan akibat ‘tuduhan’ tersebut. Maka terciptalah koalisi umat yang kuat dan solid, yang dikomando oleh para ulama.

Dalam situasi protes ummat terhadap sikap politik kekuasaan dan kebijakan-kebijakannya, maka dicarilah cara bagaimana memadamkan api yang telah dinyalakan tadi. Langkah untuk menenangkan ummat ini tidak lain adalah menggaet ulamannya. Itulah kemudian, Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin, yang merupakan Kyai NU tulen.

Langkah terakhir dari kekalangkabutan itu adalah mencari ulama yang siap untuk mendampinginya agar pilihan umat dan konsentrasinnya terpecah. Tetapi, dalam keadaan itu, pilihan tidak merubah situasi dan keadaan, karena ummat Islam sudah menyadari propaganda politik yang dimainkan.

Sementara Prabowo yang dituduh sebagai dalang isu SARA dan radikalisme, sama sekali tidak memilih ulama, meskipun ijtimak ulama memberikan rekomendasi, justru pada akhirnya pilihan jatuh pada Sandiaga Uno.

Pasti orang semua tercengang, kenapa bukan ulama juga yang di ambil? Memang nama Ustadz Abdul Somad dan Salim Assegaf adalah dua orang yang direkomendasi, namun toh, ulama-ulama juga tidak ngotot untuk memaksa mereka di Pilpres 2019 nanti.

Karena mereka tahu ulama itu bukan alat, ulama panutan yang memiliki tekad untuk membangun bangsa, baik dengan jalan dakwah maupun jalan politik, tapi bukan dipaksakan untuk ditarik demi mencapai hasrat kekuasaan.

Baca selanjutnya…

Kemana Pendukung Jokowi?