Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman

Jakarta, Aktual.com – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menyakini telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dalam proses ekspor mineral mentah. Hal ini juga seakan memperjelas pernyataan yang pernah disamapaikan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa sektor ESDM mengalami kebocoran hingga triliunan rupiah.

“Saat ini maraknya pemburu rente bermain kongkalikong dengan oknum pejabat di Ditjen Minerba dan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag untuk mendapatkan kuota izin ekspor mineral logam mentah, tak dapat disangkal oleh publik bahwa yang bisa mendapatkan alokasi kuota ekspor ini tentulah orang orang istimewa dari keluarga elit elit partai berkuasa atau elit elit dari partai berkuasa yang bisa menekan siapapun pejabat pejabat di Pemerintah,” kata Direktur CERI, Yusri Usman, Jumat (4/8).

Diantara modus yang dilakukan melalui kelonggaran regulasi hingga menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Dipahami semangat UU Minerba mendorong hilirisasi dengan membangun smelter, namun ternyata produk hukum yang diterbitkan Kementerian ESDM bertolak belakan tengan semangat tersebut.

“Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) justru lebih memudahkan ekspor mineral logam yang belum diolah smelter. Sehingga tujuan utama yakni agar adanya peningkatan nilai tambah di dalam negeri menjadi bias dan melenceng dari pesan UU Minerba,” ujarnya.

Di sisi lain, Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa era menjual sumber daya alam sudah saatnya dihentikan. Jokowi mengajak pentingnya mengubah paradigma bahwa sumber daya alam termasuk Minerba harus diolah terlebih dulu guna meningkatkan nilai tambah yang berdampak langsung pada rakyat.

Penegasan Jokowi tersebut juga sejalan dengan data yang dirilis Pusdatin Kementerian ESDM pada 2012, yang menyebut adanya 10,23 kali lipat bauksit bila diolah menjadi alumina. Sedangkan jika alumina diolah menjadi alumunium, maka nilai tambahnya bisa mencapai 139 kali lipat dibandingkan harga jual bijih bauksit. Selain itu, berdasarkan penelitian LPEM Universitas Indonesia tahun 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter di Kalimatan Barat dari 10 pekerja dapat menciptakan kesempatan kerja bagi 19 orang.

Namun faktanya, sikap Presiden berbanding terbalik dengan kebijakan yang dilakukan pembantunya, khususnya di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Maka sangat wajar apabila publik bertanya-tanya, apakah ada kesepakatan gelap di antara oknum DPR dan oknum pemerintah sehingga kebijakan obral ekspor mineral mentah terkesan didiamkan kalangan parlemen?

Padahal, pada rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, diketahui pada kesimpulan rapatnya dengan tegas menyatakan melarang Ditjen Minerba memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia dan PT Petrokimia Gresik setelah tanggal 12 Januari 2017. DPR bersikeras bahwa relaksasi yang telah diberikan sebelumnya sudah lebih dari cukup.

Namun, dengan diterbitkannya kembali PP No 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 5, 6 dan 28 Tahun 2017, kebijakan obral ekspor mineral logam yang belum diolah di smelter dalam negeri pun kembali memasuki babak baru. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu ) terkait bea tarif ekspor mineral dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Terakhir adalah Permenkeu No 13/PMK.010/2017 tanggal 9 Febuari 2017, yang menghilangkan kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan membangun smelter. Padahal dalam aturan sebelumnya, terdapat syarat proses kemajuan pembangunan smelter yang diberi bobot sebagai dasar penentuan tarif bea keluar.

“Anehnya, jika bea tarif ekspor ternak saja dikenakan tarif 25%, sementara untuk mineral logam yang belum diolah, hanya dikenakan tarif 7,5 % dan 10%. Seharusnya perlakuan tarifnya berbeda, yang lazimnya untuk mineral logam 25% dan ternak 10%. Bahkan kalau melihat tabel lampiran Permenkeu No 153 Tahun 2014, untuk mineral seharusnya sudah dikenakan bea tarif 50% dan 60% sejak tahun 2016,” ujarnya.

Semakin aneh bila mencermati rekomendasi ekspor mineral yang telah diterbitkan Ditjen Minerba baru baru ini terhadap beberapa perusahaan diduga bermasalah. Antara lain rekomendasi tertanggal 3 Juli 2019 terhadap PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebanyak 2,4 juta metric ton (mtn) bijih bauksit dan PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2,3 juta mtn bijih nikel di bawah kadar Ni 1,7 %. Pemberian rekomendasi tersebut oleh salah satu pejabat Ditjen Minerba diberikan lantaran kedua perusahaan tersebut berkomitmen membangun smelter dengan masing-masing kapasitas 5 juta dan 7 juta ton per tahunnya.

“Pertanyaannya, apa jaminan kedua perusahaan tersebut akan betul-betul membangun smelter? Kalau di kemudian hari, memutuskan batal membangun smelter atas kajian mereka sendiri tetapi sudah terlanjur menikmati hasil keuntungan ekspor mineral, lantas apakah pejabat yang memberikan rekomendasi sudah siap bertanggungjawab secara hukum?” Spesialnya.

Sementara di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Pengolahaan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) melakukan protes keras karena merasa dirugikan. Pasalnya, di saat sejumlah perusahaan berkomitmen membangun smelter sebagai bukti kepatuhan terhadap UU Minerba, pemerintah justru memberikan rekomendasi ekspor mineral terhadap beberapa perusahaan. Komitmen AP3I yang telah membangun smelter pun akhirnya rontok, dibuktikan dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja.

“Sekali lagi patut diduga, pemberian rekomendasi ekspor mineral oleh Ditjen Minerba kepada segelintir perusahaan, merupakan hasil kesepakatan gelap antara oknum pemerintah yang bermufakat jahat dengan oknum DPR. Namun, biarkanlah dugaan tersebut dijawab oleh penegak hukum khususnya KPK yang sudah seharusnya pro aktif melakukan penyelidikan,” imbuhnya.

Sembari menanti gebrakan penegak hukum, kata dia pemerintah melalui Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan sesungguhnya juga berperan penting untuk menghentikan rekomendasi ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 01/M-DAG/ PER/1/2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahaan dan Pemurnian.

Dalam Permendag tersebut disebutkan, bahwa izin ekspor akan diberikan kepada pemegang IUP OP dan IUPK OP yang telah dan sedang membangun smelter atau boleh bekerja sama antar pemegang IUP dengan Pemegang Izin Usaha Industri (IUI). Tentu kalimat “telah dan sedang membangun” itu sangat berbeda pemahamannya dengan kalimat “berkomitmen akan membangun smelter”. Dengan kata lain, Kementerian Perdagangan mempunyai kewenangan untuk menolak rekomendasi yang telah diterbitkan Kementerian ESDM.

“Suatu hal yang harus menjadi catatan dan perhatian Pemerintah , bahwa jangan sampai terjadi dikemudian hari negara kita mengimpor mineral mentah untuk kebutuhan smelter yang sudah dibangun disini , bukankah kita pernah mendengar pada sekitar oktober 2014 Dirut PLN Dahlan Iskan Saat itu berteriak akan menginmpor batubara dari Australia untuk jaminan pasokan semua PLTU nya setelah lama sulit mendapat pasokan dari tambang batubara dari dalam negeri,” pungkas Yusri.

Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs