Kekhawatiran yang sama juga diutarakan Pakar Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid. Ia menilai terdapat bayang-bayang para kepala daerah akan mendekam dalam jeruji besi KPK.
Ia menuturkan terdapat beberapa regulasi yang ditabrak pemerintah dalam hal ini kebijakan Mendagri. Selain APBD 2018 tidak ada anggaran yang dimasukkan untuk membayar THR dan gaji ke-13, yang lebih menohok yakni pada poin 6 dan 7 dalam Surat Edaran (SE) Kemendagri No.903/3387/SJ tertanggal 30 Mei 2018.
Pada poin 6 dan 7 tertulis sebagai berikut:

6. Bagi daerah yang belum menyediakan/tidak cukup tersedia anggaran THR dan Gaji Ketiga Belas dalam APBD TA 2018, Pemerintah Daerah segera menyediakan anggaran THR dan Gaji Ketiga Belas dimaksud dengan cara melakukan penggeseran anggaran yang dananya bersumber dan Belanja Tidak Terduga, penjadwalan ulang kegiatan, dan/atau menggunakan kas yang tersedia.

Selanjutnya, bagi daerah yang tersedia anggaran dalam APBD TA 2018 tetapi menggunakan nomenklatur anggaran ‘Gaji Ketiga Belas’ dan ‘Gaji Keempat Belas’ supaya melakukan penyesuaian nomenklatur anggaran menjadi ‘Tunjangan Hari Raya’ dan ‘Gaji Ketiga Belas’.

7. Penyediaan anggaran THR dan Gaji Ketiga Belas atau penyesuaian nomenklatur anggaran sebagaimana tersebut pada angka 6, dilakukan dengan cara merubah Penganggaran APBD TA 2018 tanpa menunggu Parubahan APBD TA 2018 yang selanjutnya diberitahukan kepada pimpinan DPRD paling lambat 1 (satu) bulan setelah dilakukan perubahan Penjabaran APBD dimaksud.

“Butir 6 dan 7 surat edaran itu bertentangan dengan prinsip anggaran dan berpotensi dituduh sebagai tindak penyalahgunaan wewenang,” kata Ryaas Rasyid beberapa waktu yang lalu.

Menurut dia, secara etika harus ada musyawarah dan kesepakatan dulu antara pemerintah pusat dan daerah untuk alokasi atau realokasi. “Nggak bisa main surat edaran saja. Pemerintah itu ada etika dan peraturan,” tegas dia.

Hal tersebutpun diamini Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Ia menegaskan, pembayaran THR dan gaji 13 tidak dapat dipecahkan dengan cara menggeser mata anggaran dalam APBD.

“Bila Pemda mengeser mata anggaran dalam APBD, maka tindakan itu absolut bertentangan dengan hukum. Dapat dipastikan pergeseran itu akan menjadi temuan oleh BPK,” kata dia.

Sebab ditegaskan Margarito surat edaran menteri dalam negeri tidak memiliki kapasitas hukum, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh Pemda menggeser anggaran.
“Bila Pemda memaksakan diri, maka potensi munculnya tindak pidana korupsi,” kata dia

Sementara koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) Adri Zulpianto menilai alokasi APBD untuk THR dan gaji 13 PNS sebagai anggaran ilegal.
Kebijakan ini menurut dia sama saja menyediakan lubang kuburan untuk para kepala daerah.

“Ketika kepala daerah mengikuti perintah Mendagri, maka kepala daerah menjadi target makanan empuk aparat hukum seperti KPK,” kata dia dalam keterangan tertulis.
Hal ini menurut dia, lantaran jika THR dan gaji ke-13 di pusat, anggaran disediakan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan THR maupun gaji ke-13 untuk pemda, alokasi anggaran disuruh cari sendiri dalam APBD.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby