Presiden Jokowi

Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior dari Indef, Didik J Rachbini mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang nyaris tak berbuat apa-apa selama hampir tiga tahun ini. Karena indikatornya, selama itu tak ada perbaikan yang signifkan.

Dari sisi kemiskinan dan ketimpangan, tak beranjak sama sekali atau jalan di tempat. Bahkan di antara menteri ekonomi pun lebih banyak terjadi konflik.

“Ketika kemiskinan dan ketimpangan diumumkan. Ya sudah, semua (pemerintah) pada bingung. Kok hampir tiga tahun ini tidak bergerak (tidak ada perbaikan sama sekali),” ungkap dia, di Jakarta, Rabu (19/7).

Padahal, dia menegaskan, sisa dua tahun itu sangat tak efektif untuk melakukan perbaikan ekonomi di Indonesia. Karena 2018 itu jadi batas waktu terakhir, di mana pemerintah sudah sangat sibuk dengan pilkada. Dan menjadi tahun politik karena persiapan Pilpres 2019.

“Jadi sudah tidak ada waktu lagi untuk konsolidasi. Yang ada, kabinet kita dibumbui konflik. Antara Menko Perekonomian (Darmin Nasutioan) dan Menkeu (Sri Mulyani Indrawati) malah saling bermusuhan,” ungkap dia.

Semestinya, kata dia, yang menjadi pemimpin ‘orcestra’ itu adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah berhasil mencapai pertumbuhan 6,5 persen di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Tapi yang terjadi, Presiden (Jokowi) dan wapres malah berkonflik. Makanya itu persoalan political economy yang luar biasa. Makanya, saya sebut, hampir tiga tahun itu tidak berbuat apa-apa,” kata dia.

Untuk itu, kata dia, dia pun tak aneh jika belakangan muncul wacana reshuffle di kementerian ekonomi Kabinet Kerja. “Banyak berita yang tidak sengaja keluar adalah soal reshuffle. Itu mencuat tiba-tiba, tapi enggak mungkin ada api kalau nggak ada asapnya,” kata dia.

Menurut dia, pemerintah yang tak berbuat apa-apa itu salah satu dari data ekspor yang terus anjlok. Padahal empat tahun lalu, Indonesia sudah berhasil mencapai ekspor US$ 200 miliar. Itu angka pencapaian luar biasa.

“Karena ekspor ini tanda dinamika kebijakan, kredit bank, employment, dan pemerintah dianggap hidup. Tapi sekarang, hampir nyaris US$ 100 miliar. Jadi separuh tergerus. Ini gawat. Satu angka saja mencerminkan hampir keseluruhan dinamika ekonomi,” tandasnya.

Belum lagi bicara daya beli. Kata dia, saat ini seluruh supermarket konsumsi yang dulu diandalkan sekarang anjlok semua. Bahkan, Hypermart melakukan layoff karyawan.

“Itu tandanya, daya beli melemah. Kuncinya adalah di Kemendes yang memegang dana desa Rp60 triliun. Sehingga pemerintah harus lebih aktif untuk menggenjot daya beli,” pungkas dia.
Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: