Pekerja memasang instalasi listrik di menara Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di arteri Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (26/10). PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan membangun infrastruktur kelistrikan di 33 desa yang tersebar di Jawa Timur pada 2017. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah sangat menyadari bahwa energi merupakan denyut nadi bagi pembangunan negara. Bahkan, Wakil Presiden Republik Indonesia (Wapres RI) Jusuf kalla mengungkapkan dewasa ini dirasa jarang ditemukan aktifitas dalam keseharian yang tidak menggantungkan kepada energi, utamanya keberadaan listrik yang menjadi episentrum geliat pertumbuhan ekonomi.

Dipastikan dalam aktifitas 24 jam selalu menggantungkan pada energi listrik. Mulai dari sarana transportasi, hingga sarana komunikasi tidak lepas dari ketergantungan pada energi listrik. Energi telah merubah gaya hidup dan peradaban suatu bangsa. Bisa dibayangkan tutur wapres; akan seperti apa jika suatu peradaban tanpa ditopang oleh persediaan energi.

“Kehidupan kita dan siapa saja, apakah itu pada hari ini pekerjaan kita di industri apapun tidak akan pernah lepas dari listrik. Kalau pulang kantor pasti cari colokan. Semuanya listrik. Karena itu energi listrik sudah menjadi kebutuhan dasar. Kalau dulu bicara sembako, listrik belum, sekarang orang di kampung tanpa listrik marah-marah. Listrik itu adalah kebutuhan pokok mendasar siapapun di dunia ini,” kata dia di Jakarta convention center (JCC), Rabu (10/8).

Namun yang membuat gusar bagi pemerintah, tingkat konsumsi listrik Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara maju di Asia. selain itu, dengan wilayah geografis yang terbentang luas dan dihuni lebih dari 255 juta jiwa, dirasa menjadi pukulan dan tantangan bagi pemerintah untuk melakukan pemerataan dan memberikan rasa keadilan atas hak mendapatkan listrik.

Oleh karenanya pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah mencanagkan target pertumbuhan rasio elektrifikasi mencapai 96,6 peren dengan kapasitas pembangkit mencapai 86,8 GW yang dituangkan melalui berbagai program di antaranya program 35 ribu mega wat (MW) dan Program Indonesia Terang.

“Karena itu pemerintah punya program yang ambisius. kita mengalami masih di bawah tingkat negara maju di Asia, baik dari sisi elektrifikasi maupun tingkat konsumsi, atau industri. Karena itu setiap hari kita ingin cepat tercapai 35 ribu MW apabila ingin sejajar dengan negara lain di Asia ini dan ingin memenuhi kebutuhan usaha kita yang masih berada diangka 84 persen elektrifikasinya,” tutur Wapres Jusuf Kalla.

Lebih dari pada itu, dia optimis bahwa kebangkitan Indonesia bukan suatu hal yang mustahil untuk dicapai, dengan segenap ragam potensi sumber energi yang dimiliki, pemerintah hanya perlu memastikan kebijakan energi nasional harus berjalan dengan baik. Adapun potensi energi Indonesia pada tahun 2014; untuk miyak bumi memiliki cadangan terbukti sebesar 3,6 miliar barel dengan potensi temuan 7,4 miliar barel. Sedangkan cadangan terbukti untuk gas sebesar 100,3 TCF dengan potensi temuan 149,3 TCF.

Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki coalbed methane (CBM), diperkirakan besarannya 453 TCF. Begitupun Shale Gas juga dimiliki negara Indonesia, potensinya cukup fantastis sekitar 574 TCF. Lalu untuk batubara, pada tahun 2013 menunjukkan jumlah sumber daya batubara tercatat sebesar 120 miliar ton dengan cadangan 31 milar ton.

Hal demikian diharapkan mampu menjadi motor penggerak perekonomian dan pembangunan nasional. Tak berhenti di situ, Wapres Jusuf Kalla juga mengungkapkan berbagai ragam kekayaan potensi dari energi baru terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia, dan ini menjadi aset yang sangat berharga untuk membangun Indonesia.

“Kita harus bersyukur bahwa hampir tidak banyak negara di dunia yang punya sumber energi banyak seperti Indonesia. Kalau bicara fosil; kita punya batubara yang melimpah, punya gas, punya oil. Apabila berbicara energi terbarukan, hampir semua renewable energy saya kira semua geothermal, hydro itu semua ada. Jadi apa yang salah sehingga tingkat elektrifikasi dan konsumi kita termsuk rendah di Asean. Padahal sumber energi begitu banyak? Karena itu kebijakan, perencanaan yang dibutuhkan untuk mendukung peningkatan elektrifikasi. Karena selalu terjadi kolerasi yang kuat antara energi dan kehidupan, energi dan industri,” pungkasnya .

Menegenai potensi renewable energy yang disinggung oleh Wapres Jusuf Kalla, dari hasil penyelidikan Badan Geologi hingga tahun 2013, telah teridentifikasi sebanyak 312 titik potensi panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah indonesia. Adapun total potensinya sebesar 28.910 MW dengan cadangan 16.524 MW. Kemudian diketahui juga potensi energi angin dan air masing-masing sebesar 75.000 MW dan 950 MW. Belum lagi bila ditambah energi surya dan arus laut serta potensi energi lainnya yang terus digali, sehingga Indonesia kaya akan varian sumber energi.

Namun apalah artinya semua itu jika tidak dimanfaatkan secara berkeadilan. Bagi Menteri ESDM, Ignasius Jonan, ketersediaan atau kehadiran listrik serta keterjangkauan harga oleh masyarakat kecil merupakan prioirtas utama. Berdasarkan data kementerian ESDM pada akhir 2016, terdapat sebanyak 42.352 desa tanpa kehadiran listrik sama sekali. Dan 31.792 desa tanpa listrik, namun PLN sudah hadir di wilayah tersebut, kemudian sebanyak 2.519 desa tanpa listrik namun telah dalam perencanaan PLN untuk hadir.

Untuk mempercepat pemerataan dan menjangkau masyarakat yang belum disentuh oleh PLN ini, pemerintah mendorong pengembangan potensi lokal yang mampu menghasilkan listrik. Dalam hal ini pemeritah meminta dukungan semua pihak agar berpartisipasi aktif.

Disadari oleh Jonan, kendati telah ada target pembangungan transmisi sepanjang 46 ribu kilometer sirkit (kms) atau rata-rata 9000 kms dalam setahun sebagaimana yang tertera dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015-2019, tentu tidak akan mampu untuk menjangkau semua tempat terpencil, terluar dan tertinggal di wilayah Indonesia. Seperti yang dipaparkan diawal, geografis Indonesia yang terbentang sangat luas terdiri lebih dari 17 ribu pulau, sangat sulit untuk membangun nasional grid (transmisi nasional), oleh karenanya pengembangan konten lokal dan dukungan semua pihak diperlukan untuk bahu-membahu memberi rasa keadilan.

“National grid, saya kira itu tidak mungkin terjadi, kabel bawah laut kalau mau disambung. Akhirnya apa, gridnya, kalau misalnya di Pulau yang sangat besar, saya yakin tidak ada island grid untuk papua dan sampai 2025 tidak akan ada untuk Papua dan Papua barat. Misalnya di Sorong, di Teluk Bintuni, di Yahukimo, itu berapa yang dilelang, masa iya buaya langganan listrik (jumlah penduduknya sedikit). Kalau di pegunungan Papua tolong bikin EBT, Mikro Hidro 1 MW – 2 MW. Kalau tidak bisa, mix pakai solar, pembangkit listrik tenaga bayu,” tuturnya di JW Luwansa Hotel Jakarta, (2/3).

Tidak berheti di situ, Jonan kembali menegaskan harga tarif listrik harus terjangkau bagi masyraarakat tidak mampu, karena kalau tidak, setelah listrik masuk di suatu daerah, hal ini malah semakin melukai perasaan seseorang dalam komonitas sosial masyarakat.

Secara sederhana Jonan menggambarkan; jika selama ini di suatu daerah tertentu secara bersama-sama tidak menggunakan listrik, maka nal ini masi didapati kesetaraan sosial, namun ketika litrik masuk dan kabelnya melintasi di depan rumah, tetapi suatu rumah tertentu tidak mampu membeli listrik seperti yang dilakukan para tetangga, disaat itu gejolak rasa ketidak adilan akan sangat terasa melukai.

“Ada 10 ribu desa yang listriknya 2 tahun lagi itu akan ada kabel listrik masuk. Kalau sudah masuk, dia enggak bisa beli, itu lebih parah lagi perasaannya. Kalau semuanya pakai obor dia sudah biasa tapi kalau tetangga beli dan dia tidak mampu beli, ini menjadi persoalan. jadi saya mohon perhatian, mengapa kita mengatur tarif tidak makin lama makin naik,” pungkas dia.

(Dadangsah)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka