Yogyakarta, Aktual.com – Aktivitas pemanfaatan lahan yang tak bertanggung jawab kerap menimbulkan dampak negatif bagi keragaman potensi alam kawasan konservasi lereng Merapi dimana selalu jadi penyangga daerah-daerah pemukiman di bawahnya.

“Kawasan Merapi tak luput dari kerusakan dan pengurangan luasan karena diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki. Karena itu, upaya konservasi pada puncak Merapi mutlak diperlukan,” ujar Sutarto, Kadis Kehutanan dan Perkebunan DIY, Rabu (22/2).

Hal ini disampaikan dalam acara Sarasehan Desa Penyangga dengan Taman Nasional Gunung Merapi yang diselenggarakan Fakultas Kehutanan UGM bersama Pusat Studi Asia Pasifik, Taman Nasional Gunung Merapi serta Pemerintah Desa Wonokerto.

Secara simbolis, dilakukan penyerahan dan pelepasliaran tanaman anggrek dari masyarakat yang dimaknai sebagai salah satu upaya pelestarian kekayaan hayati lereng Merapi. “Kegiatan ini menjadi penting mengingat anggrek Merapi perlu dilestarikan agar keanekaragaman terjaga dan tetap lestari,” kata Sutarto.

Di kawasan ini, terdapat sekitar 95 jenis anggrek, sebagian diantaranya tergolong spesies langka. Namun, berbagai kondisi alam maupun faktor manusia mengakibatkan jumlahnya kian berkurang.

Karenanya, pihak terkait mulai mendorong program adopsi anggrek sejak sekitar 2 tahun lalu. Sebanyak 28 pengadopsi diberi bibit anggrek untuk dipelihara dan dikembangkan di luar kawasan Merapi. Setelah tumbuh jadi tanaman dewasa, anggrek kemudian akan dilepas kembali di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.

Desa Wonokerto, Turi, Kabupaten Sleman, jadi salah satu lokasi bibit-bibit anggrek asli Merapi dikembangbiakkan. Penduduk setempat secara mandiri membangun green house atau rumah budidaya anggrek.

Menurut Kepala Desa Wonokromo, Tomon Haryo Wibisono, selain sebagai upaya pelestarian lingkungan, kegiatan ini juga menjadi salah satu upaya pemberdayaan masyarakat desa.

“Bagi kami kerja sama ini sangat membanggakan karena desa tidak mungkin bisa berjalan sendiri tanpa lembaga lain yang memberikan dukungan. Kalau desa hanya jalan sendiri hasilnya pasti itu-itu saja, saya harap kerja sama ini bisa terus berkembang dan bermanfaat,” ucapnya.

Keterlibatan warga dalam program pelestarian lingkungan seperti ini, menurut Budiadi, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, menjadi salah satu faktor paling krusial bagi keberhasilan usaha-usaha konservasi yang direncanakan.

“Birokrat di Kementerian membutuhkan peran aktif masyarakat dalam melestarikan atau membangun hutan yang mereka tempati. Peran aktif warga desa untuk kelestarian hutan pada akhirnya manfaatnya juga akan kembali kepada mereka sendiri dan juga pada masyarakat sekitar,” papar Budiadi.

Selain pelestarian anggrek, kerja sama antara UGM, Taman Nasional Gunung Merapi dan Pemerintah Desa Wonokerto juga berkaitan dengan berbagai program pelestarian ekosistem tanah dan air, misalnya program sabuk hijau. Kerja sama berbagai pihak inilah yang jadi intisari sarasehan yang diselenggarakan.

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis
Editor: Andy Abdul Hamid