Ratusan ribu umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) melakukan aksi bela Islam 212 jilid II di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat. Selasa (21/2). Aksi ini digelar untuk mendesak DPR dan memberi peringatan keras kepada pemerintah agar segera mencopot jabatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, dalam aksi ini demonstran juga menyuarakan penolakan atas dugaan kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap sejumlah ulama. AKTUAL/Tri/Rendra
Ratusan ribu umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) melakukan aksi bela Islam 212 jilid II di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat. Selasa (21/2). Aksi ini digelar untuk mendesak DPR dan memberi peringatan keras kepada pemerintah agar segera mencopot jabatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, dalam aksi ini demonstran juga menyuarakan penolakan atas dugaan kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap sejumlah ulama. AKTUAL/Tri/Rendra

Jakarta, Aktual.Com-Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan mengaku biasa saja dengan terjadinya insiden sorakan massa aksi 212 yang meminta dirinya turun dari mobil komando, di depan Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/2)siang tadi.

Ia mengklaim kehadirannya di tengah massa aksi menunjukan bahwa PDIP juga mau mendengar apa yang disampaikan langsung. Bahkan, sampai harus naik mobil mobil komando pun dilakukan, hanya ingin tahu seperti apa yang mereka sampaikan.

“Itu juga menunjukan bahwa kita mau mendengar apa yang disampaikan langsung. Bahkan kita ikut naik ke mobil komando, kita ingin tahu seperti apa yang mereka sampaikan,” kata Trimedya, di Komplek Parlemen, Senayan, Selasa (21/2).

“Itu kan antara sorakan sama dia (massa aksi 212,red) yang kaget. Karena kami empat orang loh dari PDIP yang paling banyak hadir,” tambahnya.

Masih dikatakan Trimedya, DPR RI merupakan lembaga politik yang prosesnya tidak terlepas dari dinamika perpolitikan di Indonesia. Seperti dipenonaktifan Ahok misalnya, bila kemudian ada perbedaan pandangan dalam penafsiran di kasus penonaktifan Ahok merupakan hal yang biasa.

” Jadi kita tidak ada beban dan merasa mereka juga rakyat Indonesia perlu juga didengar suaranya dan kita mau tahu juga seperti apa mereka inginkan, dan ini lembaga politik, yang ada proses politiknya,” papar ketua DPP PDIP itu.

“Kemudian yang lain-lain kalo beda penafsiran, sudut pandang, ga ada masalah spt itu. Misal bgmn mereka melihat Ahok harus ditahan. Kita ga boleh intervensi dong. Menahan dan tidak menahan itu wilayahnya yudikatif,” tandas dia.

Pewarta : Novrizal Sikumbang

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs