Hasil Penelitian dan Penyelidikan

Sementara itu, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Chaikal Nuryakin menyebutkan, bahwa tim menemukan fakta bahwa GPN akan menurunkan biaya merchant discount rate atau MDR hingga 47 persen sehingga akan memicu lebih banyak transaksi non tunai, tetapi penurunan tersebut dapat menurunkan penerimaan bank hingga 77 persen (untuk bank issuer) dan 20 persen (untuk bank acquirer).

“Sebagai akibatnya, dapat terjadi penurunan terhadap dorongan bagi bank issuer untuk berinovasi pada produk kartu debit dan bank acquirer untuk mengakuisisi lebih banyak merchant,” jelas Chaikal.

Selain itu, ada potensi inefisiensi biaya muncul dalam penyelenggaraan GPN dengan pencetakan kartu baru bank issuer yang diperkirakan mencapai Rp585 miliar dalam empat tahun ke depan. Di sisi lain, kewajiban setiap nasabah untuk memiliki minimal satu kartu GPN akan mengakibatkan banyak kartu yang tidak digunakan atau dormant, dikarenakan dianggap tidak kompatibel, terutama untuk kebutuhan transaksi di luar negeri dan transaksi daring (e-commerce). Dari sisi nasabah, mereka akan dibebani oleh kemunculan biaya administrasi untuk kepemilikan kartu tambahan tersebut.

Dari Segi keamanan, pemrosesan dilakukan melalui lembaga switching domestik, padahal kebanyakan lembaga switching tersebut sebelumnya hanya merupakan penyelenggara jasa switching untuk jaringan ATM.

“Kami menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap kewajiban pemrosesan seluruh transaksi domestik melalui GPN. Penerapan GPN akan membawa berbagai dampak positif bagi sistem pembayaran di Indonesia namun belum optimal dari segi efisiensi, perlindungan konsumen, dan kompetisi, serta tidak sejalan dengan praktik internasional,” jelasnya.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) salah satu tujuannya adalah penurunan biaya transaksi menjadi lebih efisien atau murah.  Namun, aturan tersebut masih meninggalkan celah untuk dievaluasi, misalnya dalam PADG No. 19/10/PADG/2017 disebut bahwa bank diwajibkan untuk memastikan seluruh nasabah memiliki paling sedikit satu kartu debit GPN pada tahun 2022. Maka mau tidak mau, Bank harus menawarkan kartu debit GPN ke seluruh nasabahnya yang notabene sebelumnya sudah memiliki kartu debit.

“Padahal, kartu debit yang sudah ada itu pun pemrosesannya sudah diwajibkan lewat infrastruktur GPN yang bersangkutan. Hal ini tentu menimbulkan tambahan biaya pengeluaran untuk bank penerbit kartu. Disinilah letak problem inefisiensi yang pertama muncul,” ujar peneliti Bhima.

Inefisiensi kedua, lanjutnya, terletak pada kartu GPN yang masih belum bisa digunakan untuk transaksi online atau contactless (nirsentuh). Lalu apa keuntungan bagi nasabah? Tanpa insentif, tentu bagi nasabah ke bank untuk menukarkan kartu GPN menjadi terbuang percuma alias terjadi pemborosan waktu. Padahal generasi milenial yang usia antara 18 tahun sampai 35 tahun sudah hampir jarang sekali mendatangi bank, kalau bukan karena pendaftaran tabungan baru atau mengganti kartu ATM yang hilang.

Menurut Bhima, pembuat kebijakan harusnya belajar dari kasus adopsi pembayaran digital di Tiongkok. Jika kita masih berbicara kartu, mereka sudah move on bicara tentang pemanfaatan QR (quick response) Code. Mulai dari belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket, transfer antara pengguna smartphone, hingga memberikan sumbangan ke pengemis di jalanan Beijing, semua transaksi tersebut sudah bertransformasi ke QR Code.

Belajar dari pengalaman Tiongkok tersebut, maka dapat disimpulkan penggunaan transaksi pembayaran model kartu plastik jelas boros dan memakan biaya tambahan yang ujungnya tetap akan dibebankan ke para nasabah. Sementara penggunaan teknologi contactless terbukti lebih hemat.

Temuan hasil studi LPEM-UI tahun 2018 jelas merupakan pekerjaan rumah Gubernur BI yang baru memang tak ringan. Bank sentral di satu sisi harus menjaga perlindungan konsumen. Namun juga harus memastikan kenyamanan dan akses konsumen dalam menggunakan instrumen pembayaran digital.

Dari sisi pemangku kebijakan, Kementerian BUMN mengklaim integrasi sistem GPN mampu menghemat Rp3 triliun uang yang selama ini kabur ke luar negeri. Perhitungan versi Kementerian BUMN jelas terlalu overestimate alias berlebihan. Faktanya bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri melainkan hanya sekedar pencatatan data, itu pun sifatnya sekedar otorisasi.

Kedua, aturan GPN seakan-akan terlihat nasionalis untuk kepentingan bangsa. Namun ternyata GPN versi Bank Indonesia justru menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan usaha yang tidak sehat tercermin dari aturan batasan modal yang tidak konsisten. Dalam PBI No.19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%.

“Aturan 80:20 ini tidak berdasar dan rentan menabrak aturan lainnya di jasa keuangan seperti perbankan dan asuransi. Jadi kalau BI ingin membuat aturan yang konsisten seharusnya batasan bank asing dan asuransi asing yang wajib dikuasai pemodal domestik sebesar 80% juga. Jangan ada diskriminasi dalam persaingan jasa keuangan yang membuat pemain jasa keuangan menjadi terbatas,” ujar Bima.

Selain itu, biaya investasi yang dibutuhkan dalam jasa switching tidaklah murah. Bagi perusahaan switching dengan modal cekak tentu akan kesulitan dalam menjalankan GPN. Belum lagi ada perubahan konsep, perusahaan switching yang terintegrasi bukan sekedar jasa ATM melainkan pembayaran online. Perubahan dari ATM ke online ini butuh suntikan modal besar.

“Terkait dengan masalah fee yang dibebankan ke konsumen. Kasus penolakan masyarakat terhadap pungutan top up e-money justru membuka diskursus permasalahan aturan GPN ke tingkat yang lebih jauh. Jadi pada siapa seharusnya BI berpihak, pada konsumen atau pada industri perbankan?,” tanyanya.

Page 4: Celah Keamanan yang Rentan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka