Kapolri Jenderal Tito M Karnavian menyampaikan sambutan saat acara MoU antara DPR dan kepolisian di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/18). Kerjasama tersebut dalam rangka peningkatan keamanan di lingkungan DPR. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mendukung pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI untuk memberantas teroris.

“Saya sepakat dengan Panglima TNI. Saya yang minta bapak Panglima Marsekal Hadi (Tjahjanto) agar kekuatan TNI masuk ke operasi itu,” kata Tito di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/5).

Tito menyampaikan hal itu seusai menghadiri rapat terbatas pencegahan dan penanggulangan terorisme yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla serta para menteri Kabinet Kerja.

“Operasi teroris di Indonesia memang memang 75 persen bersifat intelijen, sementara striking (penindakan) sebesar 5 persen dan 20 persen itu pemberkasan untuk ke proses peradilan karena Indonesia adalah negara demokrasi yang mengutamakan supremasi hukum,” ungkap Tito.

Koopssusgab merupakan tim anti-teror gabungan tiga matra TNI. Pasukan ini berasal dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara TNI Angkatan Laut dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI Angkatan Udara.

Contoh pelaksanaan Koopssusgab adalah Operasi Tinombala di Poso untuk menangkap kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Sansoto.

“Jadi prinsip penanganan teroris adalah memenangkan dukungan publik, kalau publik mendukung langkah-langkah negara, maka teroris tidak akan bisa berkembang. Mereka ‘survive’ tapi hanya riak-riak saja tapi kalau negara tidak didukung publik, itu juga membuat publik simpati ke kelompok-kelompok itu, jadi saya berpendapat bahwa saat ini mekanismenya seperti operasi Tinombala dimana kekuatan polri dan TNI bergabung,” ungkap Tito.

Sedangkan untuk sejumlah anak yang juga menjadi korban ideologi teroris kedua orang tuanya seperti yang terjadi di Surabaya, Tito mengaku bahwa pemerintah sedang mengupayakan langkah-langkah pencegahan agar anak-anak tidak terekspose paham radikal.

“Tapi Polri tidak bisa kerja sendiri, karena itu kita minta pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, kementerian di bidang ekonomi, pendidikan, ormas, LSM yang pedulo silakan ini masalah ini kita cari solusi bersama jangan sampai anak-anak terbawa, terlibat terorisme,” tambah Tito.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius mengatakan institusi yang dipimpinnya berfokus untuk melakukan deradikalisasi dan mencoba mengembalikan nasionalisme melalui kurikulum sekolah.

“Deradikalisasi itubukan pelajaran saja termasuk guru dan dosennya. Menteri agama saya ingatkan, Mendikbud, Menristekdikti saya ingatkan karena sekarang semua segmen dimasuki nih. Sekarnag anak kecil gampang dimasukin karena apa yang diberi akan terngiang-ngiang,” kata Suhardi.

Pada 13 Mei 2018, kota Surabaya diguncang serangan bom bunuh diri. Bom pertama meledak di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang menyebabkan korban tewas mencapai 14 orang, termasuk para pelaku diduga berjumlah enam orang yang merupakan satu keluarga, sedangkan korban luka-luka tercatat mencapai 41 orang.

Selang 14 jam kemudian, ledakan bom terjadi di Blok B Lantai 5 Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Ledakan itu merenggut tiga nyawa yang juga merupakan satu keluarga terduga teroris yang akan melakukan serangan bom.

“Ada yang ikutanya beda-beda kan? Ada yang ikut lalu bagaimana anak-anaknya? Nah proses radikalisasai sekarang ke anak kan kita lihat di Surabaya, itu kan pasti dikasih tahu orang tua,” ungkap Suhardi.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: