Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com — Kata “kapitalisme” sebenarnya muncul dari proses transformasi panjang perubahan proses produksi dari tenaga manusia ke mesin atau teknologi.

Untuk perubahan itu, butuh kapital (modal) untuk membeli teknologi atau mesin-mesin baru guna menggantikan tenaga manusia. Jadi, kapital adalah kunci dasar perubahan proses produksi yang dulunya mahal dan lambat menjadi murah, cepat dan menguntungkan.

Jadi, siapa saja, lembaga apa saja, negara apa saja yang punya kapital besar dan atau menguasai kapital besar punya peluang besar paling diuntungkan dari sistem ini. Ini ide dasar kapitalisme.

Kapitalisme mendapat tempat dan tumbuh menjadi isme ekonomi baru di beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi negaranya dengan ideologi pasar bebas (free market ideology). Seperti di AS dan Eropa misalnya.

Salah kaprah jika kapitalisme sering disamakan dengan ideologi ekonomi pasar bebas. Itu dua hal yang berbeda. Pun sama halnya kalau kita membahas krisis finansial global pada 2008 lalu dan saat ini. Kritik “The End of Capitalism” atau “Bangkrutnya Kapitalisme” bukan berarti bangkrutnya free market ideology yang merupakan turunan dari ideologi kebebasan individu itu.

Kelihatannya, Free market ideology tetap menjadi sistem dasar ekonomi banyak negara. Namun, sistem kapitalisme secara sadar atau tidak sadar,dipaksa atau terpaksa akan mengubah dirinya sesuai dengan kehendak zamannya.

Lalu, bagaimana kapitalisme harus mengubah dirinya?

Dulu, banyak negara kapitalis mengalami kejayaan di era 90-an. Dengan agenda besar globalisasi, negara atau lembaga yang mampu mengumpulkan kapital sangat besar (seperti IMF dan World Bank misalnya) bisa mendesak dan memaksa negara-negara miskin untuk ‘menyerahkan’ dengan harga murah kekayaan alamnya.

Mereka dipaksa untuk mengekspor kekayaan alam itu dalam bentuk barang mentah. Dan negara-negara kapitalis mendapat nilai tambah (baca keuntungan.red) beberapa kali lipat dari harga barang mentah itu ketika dijadikan bermacam bentuk barang jadi.

Cara seperti ini semakin lama cost-nya sangat mahal harganya. Dalam bentuk paling ekstrim, sebuah negara bisa mengeluarkan triliunan rupiah untuk menghalakan perang hanya untuk menguasai secara penuh sumber daya energi yang melimpah di sebuah negara misalnya.

Layak kalau George Soros beberapa saat setelah AS diguncang krisis pada 2008 lalu mengatakan bahwa krisis yang terjadi di AS saat itu adalah cermin kebangkrutan prinsip free market model yang digunakan banyak negara kapitalis yang menjadikan sistem kapitalisme sebagai cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Ya. Soros sebenarnya mengingatkan bahwa sistem kapitalisme tak akan lagi menguntungkan jika pertumbuhan ekonomi (economic growth) tidak lagi tinggi atau stagnan. Seperti yang terjadi saat ini ini, termasuk AS dan Uni Eropa. Ingat selalu, pertumbuhan ekonomi dalam hal tertentu adalah indikator penting untuk menunjukkan seberapa jauh keuntungan yang diperoleh pemilik modal besar/kapitalis.

Dengan tren pertumbuhan ekonomi di banyak negara kapitalis yang tidak lagi menguntungkan bagi pemilik modal, maka secara naluriah mereka akan mencari cara baru yang cukup murah dan efisien agar pertumbuhan ekonominya meningkat lagi.

Pendiri dan Executive Chairman untuk World Economic Forum Prof Klaus Schwab, pada 2012 lalu di sebuah forum di Davos sebenarnya sudah memberi sinyal bahwa kapitalisme sudah mulai berubah. “…capital is being superseded by creativity and the ability to innovate — and therefore by human talents — as the most important factors of production. If talent is becoming the decisive competitive factor, we can be confident in stating that capitalism is being replaced by “talentism,” kata Schwab.

Dulu kapital mampu mengubah proses produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin, kini kapital mampu mengubah tenaga mesin menjadi kecerdasan atau inovasi manusia (human talent).

Namun, Scwab juga memberi catatan penting bahwa Talentism harus diberi pagar regulasi yang sangat kuat agar dalam perkembangnnya tidak lagi ‘tersesat’ seperti yang terjadi sebelumnya. “In this sense, capitalism is now called upon to make the necessary adjustments for it to remain a key pillar of our free market economic system, but also for it to adapt to today’s circumstances and to be the servant rather than the master of a socially responsible market economy,” tegasnya.

Pernyataan Schwab ini sangat mewakili representasi beberapa negara kapitalis besar yang saat ini sudah tidak lagi menggantungkan pertumbuhan ekonominya dari komoditas. AS atau Inggris misalnya, hampir 70% pendapatnya disumbang oleh sektor jasa. Ini artinya, nilai tambah beberapa negara kapitalis bergantung dari sejauh apa mereka mampu menjual nilai tambah produk jasanya.

Dengan gambaran di atas, seharusnya para pemimpin di negara ini sadar bahwa ke depan sistem kapitalisme akan lebih banyak bicara soal keunggulan dan daya saing manusia, daya saing talenta dan daya saing inovatif sumber daya manusia.

Ada banyak ‘korporasi besar talenta” yang akan memaksa untuk membuka ruang-ruang baru yang ada di negara ini agar mereka mendapat nilai tambah (keuntungan) berkali lipat. Ambil contoh Google atau Facebook misalnya yang dengan realitasnya saat ini sudah bisa dikatakan perusahaan talenta yang menjadi korporasi monopoli natural global. Itu belum ratusan korporasi yang mengandalkan produk talentanya untuk memaksa masuk dengan segala cara ke negara ini.

Telentism, kalau mau disebut sebagai kapitalisme baru, akan tumbuh pesat dan subur dengan satu syarat mutlak: desentralisasi. Bahkan sektor publik pun juga harus dideregulasi agar terdesentralisasi sedemikian rupa supaya Telentism ini mampu meningkatkan nilai tambahnya.

Kita harus peka soal ini. Agar yang kaya tidak lagi menghisap yang miskin…