Jakarta, Aktual.com – Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menyoroti ketimpangan anggaran dalam pelaksanaan Pilkada serentak pada 15 Februari lalu. Khususnya penyelenggaran Pilkada yang bersumber dari APBD setiap daerah yang berdampak pada ketidakadaan standarisasi anggaran Pilkada.

Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/3), menyatakan, pembiayaan Pilkada yang bersumber pada APBD setiap daerah menjadi permasalahan karena fiskal yang bervariasi. Ruang fiskal ini dialokasikan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Bukan Pajak serta Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Terdapat daerah yang biaya penyelenggaraanya cenderung tinggi dan daerah yang anggaranya rendah. Penyelenggaran Pilkada pada APBD berdampak pada ketidakadaan standarisasi anggaran Pilkada,” jelas Hafidz.

Ia mencontohkan Pilkada Banten yang jumlah DPT-nya lebih banyak dari DPT yang ada pada Pilkada DKI Jakarta. Namun, jumlah anggaran Pilkada DKI Jakarta justru lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi dana yang dianggarkan untuk Pilkada Banten.

“Penyelenggaran Pilkada pada APBD berdampak pada ketidakadaan standarisasi anggaran Pilkada,” ujarnya.

Seperti yang diketahui, DPT pada Pilkada DKI Jakarta yang hanya sebesar 7.108.589 pemilih telah menghabiskan biaya lebih dari Rp 478 Miliar. Sedangkan Pilkada Banten hanya menganggarkan Rp 270 Miliar untuk 7,734,485 pemilih.

Dana yang bersumber APBD, disebut Hafidz kerap melahirkan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor daerah dalam pembahasan anggaran Pilkada. Aktor kunci dalam pembahasan anggaran terdiri dari Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, DPRD, dan KPU di daerah sebagai kuasa pengguna anggaran.

“KPU dapat tersandera dengan penentuan anggaran Pilkada karena bergantung pada persetujuan kepala daerah yang seringkali juga merupakan calon petahana, serta partai pendukungnya di DPRD,” pungkas Hafidz.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: