Jakarta, Aktual.com – Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, mengatakan, panjangnya tahapan Pilkada Tahap II, Februari 2017 mendatang, menjadi kesempatan para pemangku kepentingan dan masyarakat pemilih untuk menjadikan Pilkada tidak hanya melakukan seleksi kepala daerah dan wakil kepala daerah.

“Tetapi juga sebagai sarana membangun toleransi keberagaman, meningkatkan derajat politik kerakyatan dan membangun kontrak sosial,” kata dia, Sabtu (29/10).

Menurutnya, dalam memastikan kondisi tersebut, keberadaan pengawas Pemilu sangat dibutuhkan. Yakni untuk memastikan prosedur pelaksanaan Pilkada berjalan demokratis sehingga Pilkada berjalan jurdil dan menghasilkan kepala daerah paling berkualitas dari yang ada.

JPPR mencatat beberapa tantangan pengawas dalam Pilkada Serentak 2017. Pertama menyangkut pengawasan hak pilih. Dalam proses pendataan pemilih, terdapat tujuan untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan melalui tahapan pemutakhiran, yaitu penggunaan E-KTP sebagai syarat memilih dan Surat Keterangan bagi pemilih Non-KTP Elektronik.

Proses pendataan pemilih berkontribusi terhadap proses perbaikan administrasi kependudukan. Konsekuensinya, kebijakan pemberian Surat Keterangan bagi pemilih Non-KTP Elektronik membutuhkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam pemutakhiran data pemilih Pilkada.

Koordinasi intensif dan pelayanan yang maksimal menjadi tantangan pemenuhan hak pilih bagi setiap warga. Proses perekaman yang masih terkendala dan tanggungjawab memberikan fasilitas Surat Keterangan kepada warga yang belum perekaman dengan variasi daerah yang berbeda-beda menimbulkan potensi kehilangan hak pilih.

Oleh karena itu, kata Hafidz, dibutuhkan pengawasan yang optimal untuk memastikan setiap warga yang mempunyai hak pilih dapat menggunakan haknya. Fokus pengawasan terutama ditujukan kepada pemilih yang masih dalam proses perekaman E-KTP, pemilih yang berumur 17 tahun pada hari pemungutan suara (2.236.672) dan pemberian surat keterangan kepada daerah-daerah terpencil.

Dalam advokasi hak pilih, Pengawas Pilkada dapat menjadi fasilitator antar kedua lembaga yaitu KPU dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk semakin akseleratif dalam memastikan hak pilih.

Tantangan kedua menyangkut pengawasan dana kampanye. Dalam pandangan JPPR, pengalaman Pilkada 2015 menunjukkan transparansi dana kampanye pasangan calon belum terbangun. Laporan LADK, LPSDK dan LPPDK yang disampaikan oleh pasangan calon belum mencerminkan jumlah riil penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye.

“Laporan yang dibuat oleh pasangan calon masih mendasarkan kepada pemikiran ‘Daripada Dilaporkan Tetapi Potensial Mendapatkan Catatan/Melanggar ketentuan, Sebaiknya Tidak Dilaporkan’. KPU dan Auditor hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan dan akuntabilitas dari laporan yang disampaikan,” bebernya.

Dana kampanye ini disebutkan Hafidz sebagai sumber dari politik transaksional. Praktik politik uang terjadi akibat pembiayaan kampanye yang tidak dilaporkan seluruhnya oleh pasangan calon dan ‘kontributor’ pada saat melakukan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan rapat umum.

Interaksi dengan pemilih yang cukup intensif dan dorongan untuk kampanye secara langsung berpotensi terhadap peningkatan politik transaksional tersebut. Batasan maksimal terhadap nilai bahan dan biaya kampanye seringkali tidak cukup efektif dalam praktiknya, yaitu dengan menurunkan harga bahan dan biaya kampanye tersebut. Politik uang pada akhirnya berkelindan dengan bahan dan biaya kampanye yang dikeluarkan.

“Oleh karena itu, diperlukan adanya pengawasan dana kampanye yang dapat menghasilkan data pembanding atas laporan yang disampaikan oleh pasangan calon. Tingkat transparansi pengeluaran pasangan calon disandingkan langsung dengan hasil pengawasan berapa pengeluaran yang dilakukan,” urai dia.

Pengawasan melekat dengan syarat dimana ada tindakan kampanye disitu ada pengawasan dengan fokus menghitung pengeluaran kampanye. Kata kunci dalam mewujudkan transparansi dan menghindari politik uang adalah ‘dimana ada kampanye pasangan calon, disitu ada pengawas Pilkada’.

Pengawan ketiga yakni menyangkut calon tunggal yang jumlahnya pada Pilkada 2017 mengalami peningkatan. Setidaknya terdapat 10 daerah yang berpotensi bercalon tunggal yaitu Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Buton, Kabupaten Tambraw, Kabupaten Landak, Kota Tebing Tinggi, Kota Sorong, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Halmagera Tengah.

Terhadap daerah bercalon tunggal, Bawaslu menjadi tumpuan besar bagi masyarakat pemilih untuk menciptakan keadilan karena kekuatan saling kontrol antar peserta Pilkada tidak terjadi. Aspek ‘kompetisi’ dengan peluang calon tunggal dapat tidak terpilih belum terbangun.

Pengawalan terhadap posisi ‘tidak setuju’ oleh pemilih memerlukan pengawasan yang lebih intensif. Diperlukan aspek pengawasan advokatif terhadap pemilih dalam daerah Pilkada yang bercalon tunggal.

Terakhir, yakni pengawasan kampanye. Dimana karakter masing-masing daerah Pilkada sangat variatif. Ciri khas daerah di Pilkada 2017 didukung oleh UU lain yang menjadikan pelaksanaan Pilkada berbeda-beda. Dibanding 2015, terdapat Pilkada Jakarta dengan dua putaran, Aceh dengan syarat pencalonan dan penyelenggara serta Papua yang menerapkan sistem noken.

“Keistimewaan Pilkada 2017 membutuhkan fokus pengawasan terhadap daerah tersebut. Jangan sampai pelaksanaan Pilkada justru kehilangan konteks lokalitasnya,” pesannya.

Fokus pengawasan juga memperhatikan aktor peserta Pilkada. Dengan sebagian besar Pilkada diikuti oleh petahana maka potensi penggunaan fasilitas daerah serta pemanfaatan kebijakan publik yang menguntungkan meskipun tengah menjalani cuti tetap perlu mendapatkan perhatian.

 

*Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: