Jakarta, Aktual.com —  Kehidupan manusia memiliki hubungan erat dan langsung dengan air. Sepanjang sejarah air menjadi faktor penting dalam membentuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, tanpa air kehidupan menjadi tidak bermakna. Allah SWT berfirman,

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Artinya, “Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih,”(Al-Furqan : 48)

Dan, dalam Islam pun air pun dibagi menjadi empat macam di antaranya,

1. Air suci lagi mensucikan (Thahir Muthahhir)

“Inilah air mutlak, yaitu air yang masih tetap pada sifat keasliannya sebagaimana yang diciptakan Allah SWT. Air ini tidak bisa dikeluarkan dari keadaannya sebagai air mutlak, sekalipun ia telah berubah dikarenakan terlalu lama tergenang, atau disebabkan oleh debu atau lumut yang nampak di permukaan air dikarenakan lama tergenang, atau air itu berubah dikarenakan tempat tergenangnya atau tempat mengalirnya, seperti halnya bila air itu berada atau melewati tambang belerang. Hal itu dikarenakan sulit memelihara dari pengaruh tempat seperti itu,” kata Ustad Muhamad Ikrom kepada Aktual.com, Selasa (22/03), di Jakarta.

2. Air suci mensucikan tapi makruh (Thahir Muthahhir Makruh)

Air musyammaas, yaitu air yang terkena panas Matahari. Akan tetapi ada tiga syarat untuk makruhnya air ini yaitu,

a. Bila air itu berada di negeri yang panas.

b. Bila air itu diletakkan dalam bejana dari logam selain emas dan perak, seperti besi, tembaga dan logam apapun lainnya yang bisa ditempa.

c. Bila air itu digunakan pada tubuh manusia, sekalipun sudah meninggal dunia, atau binatang yang bisa dijangkiti penyakit sopak, seperti kuda.

3. Air suci tapi tidak mensucikan (Thahir Ghairu Muthahhir)

Air jenis ini ada dua macam yaitu,

Pertama, air sedikit yang sudah digunakan untuk toharoh yang fardu, seperti mandi dan berwudu. dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata,
جَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِى وَاَنَا مَرِيْضٌ لاَ اَعْقِلُ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ مِنْ وُضُوئِهِ عَلَيَّ.
Artinya, “Rasulullah SAW pernah datang menjengukku ketika aku sakit, sedang aku tidak sadar. Beliau berwudu, lalu air bekas wudhunya itu beliau guyurkan padaku.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan, ada pula dalil yang menunjukkan bahwa jenis air ini tidak mensucikan, dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Saw bersabda,

لاَ يَغْتَسِلْ اَحَدكُمْ فِىْ الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ، فَقَالُوْا: يَااَبَا هُرَيْرَةَ، كَيْفَ يَفْعَلُ؟ قَالَ يَتَنَا وَلُهُ تَنَاوُلاً

Artinya, “Tidak seorang pun di antara kamu sekalian mandi dalam air tergenang dalam keadaan junub.” Mendengar itu, orang-orang bertanya, “Hai Abu Hurairah, bagaimanakah cara Nabi melakukan (mandi)?” Jawab Abu Hurairah, “Beliau mengambil air dengan hati-hati.”

“Dalam hal ini, wudu sama hukumnya dengan mandi, karena tujuan dari keduanya sama saja, yaitu untuk menghilangkan Hadas. Dan hadis di atas memberi peringatan, bahwa mandi dalam air akan mengakibatkan air itu tidak suci lagi. Karena kalau tidak demikian, tentu Rasulullah SAW takkan melarangnya. Namun demikian, hadis di atas dibawa kepada pengertian, bahwa yang dimaksud ialah bila airnya sedikit, dikarenakan adanya dalil-dalil yang lain,” terang ustad Ikrom

Kedua, air mutlak yang telah bercampur dengan suatu benda suci yang biasanya tidak diperlukan oleh air, yang apabila telah bercampur maka tidak bisa dipisahkan lagi, lalu berubahlah air itu sehingga tidak bisa disebut lagi air mutlak, seperti air teh dan air arkasus.

Adapun bila benda pencampur itu cocok dengan air mengenai sifat-sifatnya, baik rasa, warna, maupun baunya, seperti air mawar yang telah hilang sifat-sifatnya, maka air itu harus dinilai dengan menggunakan benda lain sebagai wasit.

Untuk rasanya, bandingkanlah dengan perasan delima, untuk warnanya, bandingkanlah dengan perasan anggur, dan untuk baunya, dengan Ladzan . Jika diperkirakan air itu telah berubah akibat dicampuri benda tersebut di atas, maka ia tetap suci, namun tidak bisa mensucikan.

Adapun kenapa ia tidak bisa mensucikan, karena dalam keadaan seperti ini tidak bisa lagi disebut air. Padahal untuk bersuci, syar’i telah mensyaratkan air.

4. Air terkena najis (Mutanajjis)

Yaitu air yang kemasukan najis. Air ini terbagi menjadi dua macam,

Pertama, air sedikit, yaitu air yang kurang dari dua kulah. Air ini menjadi najis, begitu kemasukan olehnya, sekalipun najis yang masuk hanya sedikit saja, tidak merubah air sedikit pun mengenai sifat-sifatnya, seperti warna, bau maupun rasanya.

Kedua, air banyak, yaitu air sebanyak dua kulah atau lebih. Air ini tidak menjadi najis kalau hanya kemasukan olehnya. Ia barulah menjadi najis apabila najis itu mampu merubah salah satu di antara sifat-sifatnya yang tiga yaitu warna, rasa, atau baunya. Bersambung….

Artikel ini ditulis oleh: