Jakarta, Aktual.com — Suwardi Suryaningrat, yang kelak lebih populer dengan nama Ki Hajar Dewantara, di tanah air dikenal reputasinya sebagai pelopor Pendidikan Nasional dan pendiri Lembaga Pendidikan Taman Siswa. Sehingga putra kelahiran Yogyakarta itu, Hari Pendidikan Nasional yang dicanangkan oleh Pemerintah bertepatan dengan hari kelahirannya, 2 Mei 1889. Tapi, belum banyak yang tahu, bahwa Ki Hajar Dewantara juga berkiprah cukup aktif dalam pers perjuangan.

Setiap tanggal 2 Mei, masyarakat Indonesia merayakan apa yang dikenal dengan Hari Pendidikan Nasional. Namun sosok Suwardi Suryaningrat sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan Pendiri Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa, belum banyak dikenal oleh generasi muda di era digital seperti sekarang ini. Apalagi kiprahnya sebagai salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia.

Jika menelisik asal-usulnya, Ki Hajar nampaknya bukan berasal dari kalangan sembarangan. Boleh dikatakan berasal dari golongan “darah biru.” Ibunya, merupakan seorang putrid kraton di Yogyakarta, dan pewaris Kadilangu, keturunan langsung dari kanjeng Sunan Kalijogo. Adapun ayahnya, Pangeran Suryaningrat, merupakan keturunan Sultan Hamengkubuwono II dan putra sulung Paku Alam III.

Untuk anak yang sejatinya masuk golongan bangsawan, Suwardi kecil punya karakter yang khas dan unik, beda dari anak-anak dari golongannya yang umumnya sangat feodalistik. Ia biasa bergaul dengan anak-anak yang bukan dari golongan bangsawan, cenderung bandel dan keras hati.

Setamat dari Europeesche Lagere School, sekolah dasar setingkat SD di zaman sekarang, Suwardi melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Kedokteran STOVIA atau dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa, di Jakarta(dulu namanya Batavia). Di sinilah lingkup pergaulan Suwardi meluas, karena bergaul dengan para pemuda dari berbagai macam suku bangsa yang datang dari berbagai penjuru kepulauan di tanah air. Alhasil, pemikiran dan wawasannya luas dan berkembang.

Sayangnya, Suwardi gagal menamatkan sekolahnya di STOVIA, dan beasiswa yang setiap bulan ia terima dari pemerintah kolonial Belanda, telah dicabut dengan alasan bahwa kelancaran dalam kenaikan tingkat tidak berjalan sebagaimana mestinya, berhubung seringnya absen karena sakit.

Memang banyak versi terkait penyebab gagalnya Suwardi menamatkan sekolah kedokterannya. Yang jelas, melalui berbagai sumber yang berhasil saya olah, passion-nya sebagai seorang jurnalis persuratkabaran itulah penyebab utama mengapa sekolah kedokterannya jadi terbengkalai. Jangan-jangan, menjadi seorang dokter memang bukan panggilan jiwa sejatinya.

Seperti ditulis oleh sejarawan Universitas Indonesia Irna HN Hadi Suwito, sejak masa kemahasiswaannya, Suwardi sudah sangat aktif menyumbangkan tulisan untuk surat kabar ternama De Expres. Dan sepertinya, debutnya sebagai penulis lepas dari surat kabar De Expres itulah, minat jurnalistiknya semakin meningkat, sehingga kemudian memutuskan mencurahkan seluruh aktivitasnya di lapangan jurnalistik.

Maka pada 1912, atas permintaan dari Douwes Dekker, yang kelak berganti nama jadi Dr Danudirja Setiabudi, Suwardi pindah ke Bandung, Jawa Barat. Dowes Dekker, pada waktu itu, memimpin harian De Expres di Bandung. Sebelumnya, Suwardi sudah sering menjalin kontak sejak Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad, sebuah surat kabar yang dipimpin oleh J.H Ritman dan punya reputasi bagus sebagai surat kabar yang bebas dan obyektif, serta tidak mengikuti haluan penguasa kolonial secara membabi-buta.

Melalui surat kabar inilah, persahabatan segitiga Suwardi, Dekker dan Dr Cipto Mangunkusumo, mulai terjalin yang selanjutnya dipupuk dan berlanjut, sehingga kelak mereka bertiga dikenal sebagai Tiga Serangkai. Sedari awal, jurnalistik bagi Suwardi dipandang sebagai alat perjuangan dan sarana untuk mencurahkan segala isi hati.

Tulisannya yang pertama di De Expres bertajuk “Kemerdekaan Indonesia, tentunya sebuah fenomena yang tidak lazim di tengah-tengah masih kuatnya belenggu penjajahan Belanda. Namun frase “Kemerdekaan Indonesia Merupakan Nyala Semangat Menuju Indonesia Merdeka,” barang tentu amat mengkhawatirkan bagi aparat pemerintahan kolonial Belanda. Karena hal itu pastinya dipandang sebagai pengobar dan penebar semangat menuju Indonesia Merdeka.

Simak saja salah satu penggalan dari salah satu artikelnya: “Setiap pergerakan politik bebas, harus dimulai dengan memtuskan perhubungan-perhubungan kolonial dan harus menuju ke penghidupan rakyat yang bebas. Selama hubungan itu masih berlangsung, berarti masih ada ikatan yang memungkinkan terasanya tekanan penghidupan rakyat.”

Jalan hidup Suwardi di ranah jurnalistik nampaknya menjadi pintu masuk baginya untuk berkiprah di dunia pergerakan politik. Ketika Ritman dicopot sebagai pemimpin redaksi Bataviaasch Nieuwsblaad, maka Douwes Dekker pun hengkang dari surat kabar tersebut, dan merintis majalah berkala Het Tijdschrift, yang mana bersama De Expres, kemudian mempelopori berdirinya sebuah partai politik, Indische Partij. Partai yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan tanah air, serta mempersiapkan bangsa Hindia agar dapat berdiri sendiri. “Hindia untuk bangsa Hindia,” katanya.

Maka De Expres dan Het Tijdschrift, menjadi media propaganda perjuangan partai tersebut. Meskipun konsepsi nasionalismenya masih kabur pada era waktu itu, namun Suwardi yang hakekatnya sudah mengerti apa arti kesadaran nasional, dengan tak ayal tertarik bergabung dalam partai itu. Karena merasa melalui partai itu, selain terbuka bagi berbagai suku bangsa Hindia untuk jadi anggota, juga merasa dalam partai itu mempunyai satu kekuatan, yaitu perasaan satu bangsa dan satu cita-cita. Jelasnya, tanpa senjata persatuan maka Hindia akan merupakan suatu negara yang berbangsa lemah tanpa kekuatan.

Maka Suwardi bersama-sama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, merupakan pendiri Indische Partij. Tapi, lebih dari sekadar kiprahnya di dunia politik kepartaian, kiprahnya di ranah jurnalistik ternyata jauh lebih melegenda.
Sebelum sampai ke sana, baiknya kita simak dulu cerita awal, mengapa kemudian Suwardi memuat sebuah artikel menarik bertajuk “Als ik eens Nederlander was yang kalau diterjemahkan “Andaikatan Aku Seorang Belanda.”

Pada Juli 1913, para pembesar pemerintah kolonial Belanda akan mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis di zaman Napoleon, Pernyataan tersebut akan diselenggarakan pada 15 November 1913. Menurut rencana, perayaan itu nanti tidak hanya akan dirayakan oleh bangsa Belanda saja, tapi golongan pribumi pun harus turut merayakannya, dengan memberi uang derma yang dipungut secara paksa. Tentu saja rencana tersebut mendapat tentangan keras dari para tokoh masyarakat pribumi. Mereka berpendapat bahwa tidak sepantasnya jika suatu perayaan kemerdekaan akan diselenggarakan dalam negara yang sedang mengalami penjajahan.

Di sinilah, Suwardi kemudian angkat pena, dan menuangkan sebuah tulisan dengan judul tersebut di atas. Sehingga kemudian mengundang kehebohan yang berekor panjang dan berlarut-larut. Karangan Suwardi diterbitkan oleh percetakan De Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij, yakni suatu kongsi atau perkumpulan yang mengelola berita pertama di Bandung, di bawah pimpinan J.F Wasselius, penerbit surat kabar De Expres. Dan koran De Expres ini pula, yang memuat artikel Suwardi yang menghebohkan itu.

Mari kita kutipkan akhir tulisan Suwardi yang menyatakan: “Andaikata aku seorang Belanda, aku tidak akan merayakan perayaan itu di dalam negeri yang sedang kami dijajah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang kami dijajah, kemudian baru memperingati kemerdekaan kami sendiri.”

Dengan kata lain, melalui artikelnya itu, Suwardi menyatakan bahwa bangsa Hindia tidak selayaknya ikut serta merayakan kemerdekaan bangsa lain yang sedang menjajah bangsa Indonesia. Andaikata Suwardi orang Belanda, dia akan memprotes gagasan peringatan tersebut. Dan akan menulis dalam semua surat kabar bahwa hal tersebut merupakan gagasan yang keliru. Andaikata Suwardi orang Belanda, maka pesta itu akan ditiadakan. Karena perayaan tersebut akan menyakiti penduduk pribumi.

Tulisan Suwardi yang kemudian dicetak dalam bahasa Belanda dan Melayu, dengan oplah mencapai 5000 eksemplar, tak pelak lagi, tulisan Suwardi telah menampar secara halus sekaligus kritik pedas terhadap penguasa kolonial Belanda di Indonesia.

Meski pihak kejaksaan memerintahkan penyitaan brosur tulisan Suwardi, namun pada prakteknya tak mungkin dilaksanakan, karena ribuan brosur sudah terlanjur tersebar dan tersiar ke seluruh tanah Jawa. Dengan tak ayal, pemerintah kolonial Belanda merasa tertampar mukanya.

Karuan saja pemerintah Belanda menganggap tindakan Suwardi yang juga mendapat dukungan dari Cipto Mangunkusumo itu, sebagai tindakan yang subversif dan bermaksud memicu kekacauan. Bermaksud memecah-belah antar golongan masyarakat di Hindia Belanda. Dan yang paling utama, dituduh berusaha membakar semangat dan mempengaruhi golongan pribumi untuk melawan Belanda. Dan dari segi jurnalistik, penguasa kolonial menganggap artikel Suwardi melanggar kode etik yang berlaku di dunia pers. Sehingga pihak penguasa kolonial menginterogasi Suwardi dan Cipto siapa saja agen penyebaran brosur tulisan yang menggegerkan itu.

Bagi Suwardi tulisannya sama sekali bukan bermaksud menghasut, tapi sekadar memancarkan apa yang dirasakan masyarakat Pribumi dalam kasus itu. Seperti penuturannya dalam artikel selanjutnya pada 28 Juli 1913 bertajuk Satu untuk Semua, tapi juga semua untuk Satu, Suwardi menegaskan bahwa tulisannya yang berjudul Andaikatan Aku Seorang Belanda, sejatinya merupakan gambaran daripada perasaan hatinya. Suwardi yakin bukan dirinya saja yang punya perasaan demikian. Suwardi memang mengakui bahwa sebagian besar orang memang berdiam diri, tetapi di balik dada masing-masing, pasti juga merasakan seperti apa yang telah dirasakan Suwardi bersama kawan-kawannya.“Kita harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam menghadapi perjuangan nasional ini. Jika tidak, maka selamanya saudara-saudara akan tetap menjadi budak! Lepaskan diri dari perbudakan ini!”

Meskipun akhirnya gara-gara penyikapan menentang kebijakan Belanda melibatkan masyarakat pribumi untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda, Suwardi bersama Cipto dan Dekker dibuang ke Belanda, namun Suwardi merasa bangga dan bersyukur bahwa melalui sarana media massa dan surat kabar, telah mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan bangsanya.

Sepertinya, melalui konstruksi cerita singkat kiprah Ki Hajar Dewantara di ranah jurnalistik, jejak-jejak kepeloporannya merintis Pers Perjuangan di era penjajahan Belanda pada paruh pertama abad ke-19, nampaknya sangat terang-benderang dan tak terbantahkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit