Suasana Rapat Paripurna kedua pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2016-2017 di Ruang Paripurna Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8). Rapat tersebut membahas tentang pembahasan APBN Perubahan, penetapan anggota komisi dari masing-masing fraksi, pengambilan keputusan tingkat dua tentang UU Perlindungan Anak dan pelantikan dua anggota DPR Pergantian Antar Waktu (PAW). AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Fraksi Partai Gerindra menyampaikan pandangan umum terhadap RUU APBN 2017 beserta nota keuangan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (23/8). Hal itu sebagai tindak lanjut dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo terkait RAPBN 2017 pada 16 Agustus 2016 lalu.

Pandangan umum tersebut dibacakan oleh Anggota Fraksi Gerindra Moh. Nizar Zahro.

Seperti yang telah disampaikan Presiden Jokowi terkait sasaran asumsi ekonomi makro, Anggota Fraksi Gerindra Moh Nizar Zahro yang membacakan pandangan umum mengaku sependapat dengan pemerintah bahwa kondisi ekonomi global belum normal.

Namun, menurut Fraksi Gerindra, APBN harus mendukung upaya mengentaskan kemiskinan. Karena itu, APBN kedepan perlu realistis, kredibel, dan berkelanjutan.

Nizar menyebutkan, Fraksi Gerindra menyadari APBN 2017 masih jauh dari harapan kesejahteraan rakyat sesuai pembangunan nasional. Sebab, diakui, APBN masih terkendala ruang fiskal dan berlanjut ke tahun berikut karena target perolehan tak sesuai dan tak tercapai.

“Kami mengkhawatirkan anggaran yang sudah disahkan tidak di laksanakan. Karena dana tak tersedia,” ujar Nizar yang juga anggota Komisi V DPR RI, saat membacakan pandangan umum dalam rapat paripurna, Selasa (23/8).

Sementara, asumsi makro yang disampaikan pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,3-5,9 persen, inflasi 3-5 persen, nilai tukar rupiah Rp13.650-Rp.13.900 per dolar AS, harga minyak mentah (ICP) US$ 45 per barel, dan lifting 780 ribu barel per hari.

Gerindra berpendapat, penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3-5,9 persen cenderung bersifat moderat. Padahal pemerintah harus optimis karena adanya pengampunan pajak yang beri stimulus bagi perekonomian nasional. Selain itu, hadirnya tim ekonomi baru hasil reshuffle kabinet semestinya juga memberikan nuansa optimisme.

“Tapi bisa dimaklumi pemerintah ‘trauma’ karena di tahun berikutnya target pertumbuhan tidak tercapai,” katanya.

Selain itu, Inflasi yang sebesar 3,5 persen memunculkan kesan bahwa pemerintah belum punya strategi jitu untuk menjinakkan inflasi agar lebih rendah dan bersaing dengan negara lain. Serta, lifting minyak 780ribu barel per hari telah menunjukkan kemunduran konsisten pengelolaan migas nasional.

Jumlah tersebut berada pada kisaran tengah dari target lifting yang ditetapkan banggar DPR, jika dibanding RAPBN 2016 yang sebesar 820 ribu barel per hari.

“Ini lebih rendah 4,9 persen. Nampak sekali pemerintah semakin tidak mampu mencapai target lifting minyak,” ungkapnya.

Mengacu pada kebijakan fiskal tahun 2017, lanjut Nizar, pendapatan negara ditargetkan Rp1737,6 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan Rp1495,9 triliun.

Dengan target pajak yang begitu besar mencirikan Indonesia sudah menjadi negara kapitalis. Karena salah satu ciri negara kapitalis adalah pilar utama penerimaan dapat pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Kami menyayangkan pemerintah yang tidak mencantumkan perkiraan pendapatan negara dari Tax Amnesty di RAPBN 2017,” tutur ketua DPP Partai Gerindra ini.

Selanjutnya, pemerintah telah mengalokasikan belanja negara sebesar Rp2070,5 triliun. Yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1310,4 dan alokasi transfer daerah dan dana desa sebesar Rp760 triliun.

Terkai hal tersebut, Fraksi Gerindra menilai belum ada perubahan fundamental terhadap RAPBN 2017 dibanding APBN sebelumnya. Postur APBN yang Rp2070,5 triliun tersebut, 60 % hanya untuk anggaran rutin.

“Sulit kiranya untuk bisa mewujudkan keadilan ekonomi dalam konteks pluralisme,” kata Nizar.

Hal yang perlu dicermati lagi dalam RAPBN, pemerintah mematok defisit anggaran sebesar Rp332,8triliun atau 2,41% dari PDB . Salah satunya akan ditutupi utang melalui penerbitan SBN (neto) Rp404,3 triliun. Sehingga akan menambah beban utang Indonesia menjadi Rp3362,74 triliun.

“Tahun depan pemerintah harus bayar bunga utang Rp221,4 triliun. Meningkat dibanding tahun 2016 sebesar Rp191,2 triliun. Menumpuknya hutang akan berdampak pada menurunnya posisi tawar Indonesia dalam hubungan internasional. Utang akan mengancam cadangan devisi yang saat ini tercatat 109, 8 miliar dollar AS. Cadangan devisa memang meningkat tapi sebenarnya adalah utang,” jelas Nizar.

Kemudian, alokasi kesehatan belum mencapai 5% dari total APBN sebesar Rp2070,5. Padahal sesuai UU nomor 36 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa anggaran kesehatan harus minimal 5%.

“Juga, melalui pembanguan infrastruktur diharapkan akan menyerap tenaga kerja. Namun dicurigai penerapan tenaga kerja hanya menyerap tenaga kerja dari luar, khususnya China dengan alasan tenaga kerja lokal tak bersertifikasi. sedangkan China bersertifikasi,”

“Jika tren penggunaan tenaga kerja asing berlangsung maka target pemerintah mengurangi pengangguran pada kisaran 5,3-5,6 persen hanya mimpi belaka,” tutup Nizar.

 

*Nailin

Artikel ini ditulis oleh: