Yogyakarta, Aktual.com – Pemerintah Kabupaten Bantul tengah merealisasikan pembangunan 110 hektar lahan di Desa Srimulyo Kecamatan Piyungan untuk pengembangan kawasan industri dan pariwisata terpadu berstandar internasional.

Kawasan industri yang dirancang sebagai eco-manufacturing complex ini mensyaratkan 70% atau 70.000 tenaga kerja wajib berasal dari Bantul.  Buruh nantinya akan dipekerjakan untuk unit produksi di sektor kerajinan, mebel, garment, mainan, kemasan serta industri ekonomi kreatif, termasuk pariwisata bernuansa tradisional, modern dan eco-tourism.

Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta, Kirnadi, menilai bahwa upah murah jadi salah satu yang dijanjikan pada investor agar mau berinvestasi di Yogyakarta, syarat lain seperti kemudahan perizinan serta ketersediaan infrastruktur pendukung di provinsi ini terbilang cukup baik.

“Belum lagi Yogya masih jadi salah satu wilayah dengan upah minimum terendah di Indonesia termasuk urusan jaminan sosialnya,” ujarnya kepada Aktual, Minggu (16/10).

Lalu, seperti apa skema pengupahan yang akan diterima puluhan ribu buruh KIP (Kawasan Industri Piyungan) kedepan? Berikut petikan wawancaranya:

A: Apa catatan Anda atas rencana penyerapan 70.000 buruh untuk KIP?

Investor atau perusahaan nantinya harus ramah dengan kesejahteraan buruh, harus ada timbal balik yang setara. Sejauh mana pabrik-pabrik itu melindungi buruhnya kedepan. UU sesungguhnya sudah cukup tegas, perusahaan wajib memberi upah yang layak, jaminan sosial seperti kesehatan, kecelakaan, kematian, pensiun dan lain-lain.

A: Bagaimana fungsi pengawasan dari Pemkab Bantul sendiri terkait hal ini?

Pemkab Bantul itu nyatanya adalah pemerintah daerah yang paling takut dengan investor atau perusahaan. Investor asing di sejumlah pabrik di Bantul kerap memberi upah dan jaminan sosial dibawah aturan yang ada tapi Pemkab Bantul selalu takut menegakkan aturan untuk melindungi buruh.

Cukup banyak pabrik-pabrik yang melakukan hal itu dan Pemkab dengan sengaja membiarkan tidak ada pengawasnya, itu yang terjadi.

A: Disperindagkop Bantul mengatakan, kuota 70.000 buruh KIP bakal diperuntukkan bagi SDM asli Bantul. Menurut Anda?

Mungkin untuk komitmen awal para investor bakal mau, tapi untuk beberapa tahun ke depan bagaimana? Masalah kompetensi investor kan juga punya hitung-hitungan, apa iya dia (investor) mau bunuh diri dengan menggunakan SDM yang inkompenten? Kan nggak mungkin. SDM yang inkompeten jelas akan dibuang dan yang terjadi adalah pengangguran selanjutnya.

Maksudnya, Bantul bisa nggak memenuhi spesifikasi SDM di pabrik tersebut? 70.000 pekerja itu sesuai dan siap pakai atau nggak?

Sebenarnya dilema juga bagi masyarakat Bantul sebab di satu sisi mereka butuh pekerjaan tapi di sisi lain Pemkab nya tidak punya aksi strategis yang baik untuk mengatasi masalah pengangguran.

A: Adakah contoh serupa di daerah lain?

Di Tangerang dan Bekasi, Gubernur dan Bupati nya bikin aturan bahwa 50% wajib pekerja lokal, namun setelah diterbitkan justru langsung dihapus oleh Kemendagri. Bertentangan dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UUD ’45 bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, di manapun.

Hanya orang Bantul yang boleh bekerja di Bantul itu namanya diskriminasi, kalau mau seperti itu kan artinya kebodohan yang diulang.

A: Lantas, seperti apa latar belakang persoalan ini?

Orang saat ini dipaksa menjadi buruh, tercabut dari akarnya yang agraris. Pemerintah tidak mau meningkatkan daya tawar petani, bukannya mengembangkan lahan pertanian, menambah alat produksi, para petani malah dipaksa bekerja sebagai buruh urban berupah murah ditempat dimana dulu dia bercocok tanam, biar tidak menganggur.

*Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis