Susilo Bambang Yudhoyono dan dukungan NU kultural. (ilustrasi/aktual.com)

Bagi Anies-Sandi di sisa waktu kurang dari dua bulan, bukan harus berbaik-baik sama SBY agar suara pendukungnya dialihkan ke Paslon 3. Tapi, pelajari dan coba mengerti kekuatan rahasia SBY sehingga bisa terpilih jadi presiden dua periode.

Rahasia kisah sukses SBY karena berhasil membangun dukungan dari basis-basis Islam tradisional yang tidak otomatis berarti NU. Melainkan melalui jaringan-jaringan Islam tradisional yang meskipun bukan warga NU, tapi secara amaliah sejalan dan senafas dengan amaliah warga NU. Menurut saya itulah rahasia kekuatan SBY.

Mari saya kasih satu contoh. Apakah SBY waktu nyapres pada 2004 dan 2009 didukung oleh NU organik seperti PBNU di pusat dan PWNU di daerah? Samasekali tidak. Malah sebaliknya, Megawati-Hasyim Muzadi dapat dukungan PBNU karena Ketua Umumnya disandingkan sama Megawati sebagai inkumben presiden. Menang? Sama sekali tidak. Apakah pada pilpres 2009, SBY juga diusung PBNU dan PWNU? Sama sekali tidak. Malah sebaliknya, duet Jusuf Kalla-Wiranto dapat dukungan terbuka dari PBNU dan beberapa PWNU beberapa daerah. Menang? Juga tidak.

Lantas kenapa SBY malah dapat dukungan suara dari 54 persen warga NU? Kuncinya ada pada dukungan jaringan pesantren-pensatren tarekat yang biasanya tidak otomatis merupakan warga NU atau kader-kader organik NU, tapi jaringan ini justru mampu meluas-kembangkan daya dukung Islam tradisional bahkan melampaui lingkup jaringan pesantren pesantren tarekat itu, tapi meluas menjaring warga masyarakakat luas yang komitmennya justru pada para guru tarekat tersebut, ketimbang kepada organ-organ formal.

Kebetulan,geneologi keluarga SBY memang dari jalur itu pula. Kakeknya, Kyai Mahfud Tremas, Pacitan, merupakan mata-rantai penting dari tarekat Qadariyah-Naqsabandiyah, yang jalur nasab perguruanya berujung pada yang mulia Syech Abdul Qadir Jaelani.

Nah, kalau seseorang sudah bersenyawa dengan jaringan semcam ini, bukan saja dia bisa menguasai jaringan basis Islam tradisional itu di daerahnya, bahkan lintas provinsi. Karena tarekat ini, yang kebetulan guru awalnya di Indonesia adalah Syech Achmad Khotib Sambas, malah berasal dari Kalimantan. Baru setelah itu punya murid, yang di Jawa Timur, adalah Kyai Cholil Bangkalan. Sedangkan Cirebon adlaah Syech Tolkah, dan Kyai Nawawi Banten, dan seterusnya. Intinya, pesantren pesantren tareket itu lintas provinsi dan lintas daerah.

Di sinilah akar kekuatan SBY, yang tentunya coba dia wariskan kepada putranya, Agus Harimurti Yudhoyono. Hanya saja sayangnya, kapasitas dan garis tangannya namapkany memang berbeda dengan bapaknya. Sehingga terkesan dipaksakan.

Maka itu lepas dari apapun juga, secara obyektif Anies-Sandi harus belajar banyak dari success story SBY dalam hal kiat menguasai akar dukungan dari masyarakat. Bahwa sebagai pemain politik jangan sekali sekali menganggap remeh aspek kultural di bumi nusantara. Atau dalam istilah Bung Karnoi, natur dan kultur.

Begitulah. Geneologi alami SBY yang kebetulan keluarga kyai pesantren tarekat yang kemudian semakin dia pupuk sewaktu jadi perwira sosopol dan teritorial ABRI semasa pemerintahan Suharto, kemudian berbuah menjadi aset politik yang sangat berharga pada pilpres 2004 dan 2009.

Karena itu, Anies-Sandi jangan terlalu bertumpu pada kebaikan hati SBY agar mau mengalihkan dukungan suaranya ke Anies-Sandi. Tapi Anies-Sandi jusru harus menjadikan ini sebagai tantangan dan peluang untuk introspeksi.

Bahwa selama ini, keduanya terlalu kuat citranya sebagai sosok orang modern, intelek dan kosmopolitan. Yang satu profesor dan rektor sebuah perguruan tinggi sehingga lebih tercitra sebagai seorang akademisi, yang satunya tercitra sebagai seorang pengusaha yang serba rasional dan apa apa harus konkrit. Tentu saja pada tataran tertentu, itu memang kekuatan dari Paslon 3.

Namun dalam politik ala nusantara, ada sesuatu kekuatan tidak kasat mata yang harus kita hayati dan selami. Atau lagi lagi meminjam istilah bung Karno, Emanansi Krachten. Yaitu bagaiman kita menghayati dan menyelami rahasia kekuatan Rakyat.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar, belajar dan belajar terus. Karena kalah menang bukan sejatinya persoalan, tapi bagaimana belajar dari sebuah kegagalan, sebagai guru yang baik.

Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual