Dua pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com — Kebijakan pemerintah untuk melakukan pengampunan pajak (Tax Amnesty) memang menuai pro dan kontra, sebagian masyarakat menilai bahwa kebijakan ini hanya memberi ‘karpet merah’ bagi para penjahat pajak dan pencucian uang (Money Laundry).

Namun Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) melihat bahwa kebijakan ini memiliki dua sudut pandang, pertama; jika tax amnesty dijadikan sebagai sarana untuk membangun sistem pajak dan perekonomian, maka akan berimbas pada kepastian hukum setelah tax amnesty diterapkan.

Akan tetapi apabila kebijakan itu hanya sebatas tujuan untuk menginginkan tarif murah dan diampuni, maka akan berujung pada kegagalan karena tidak terjadi perbaikan regulasi setelah tax amnesty diberlakukan.

“Ada dua pandangan yang berkembang yakni tax amnesty sebagai sarana dan tax amnesty sebagai tujuan,” kata Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo kepada Aktial.com, Kamis (28/4).

Lebih lanjut pakar auditor pajak dan analis kebijakan publik ini menegaskan, Jika tax amnesty tersebut diberlakukan maka harus ada komitmen sebagai jaminan yang kuat untuk memenuhi prasyarat-prasyarat agar sistem perpajakan menjadi lebih baik.

“Maka dalam RUU tax amnesty harus ada komitmen memenuhi prasyarat-prasyarat agar pasca tax amnesty diberlakukan, menjadikan sistem perpajakan lebih baik,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka