Jaksa Agung HM Prasetyo mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/9). Rapat tersebut membahas evaluasi eksekusi terpidana mati tahap III, dan pola rotasi serta mutasi pejabat struktural di lingkungan kejaksaan. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) HM Prasetyo menegaskan pelaksanaan eksekusi mati jilid IV hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.

“Timingnya sedang kita timbang-timbang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan eksekusi,” katanya seusai acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Jaksa Agung RI dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Perhubungan, dan Menteri BUMN di Jakarta, Kamis (1/3).

Ia menegaskan adanya desakan hukuman mati di Indonesia dihapuskan, pihaknya akan tetap menjalankan hukum positif di Indonesia yang menyebutkan adanya hukuman mati.

“Saya sudah sampaikan berulang kali itu bahwa kita belum pernah menyatakan tidak akan ada hukuman mati lagi, karena hukum positif kita masih mengatur seperti itu,” ucapnya, menegaskan.

Tentunya, kata dia, untuk putusan hukuman mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) dan semua hak hukum terpidana sudah dipenuhi. “Tentunya kita laksanakan,” ujarnya.

“Jangan pikir bahwa kita tidak akan melaksanakan eksekusi mati,” tegasnya.

Ia mengakui masih ada yang memanfaatkan peluang grasi yang tidak ada batasan waktunya dan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali. “Itu persoalan karena hukuman mati itu sangat khusus tidak seperti hukuman lain,” katanya.

Dijelaskan, kalau perkara pidana lain, permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan, namun lain lagi halnya dengan pidana mati. “Jangan sampai justru sudah dieksekusi ada PK dan putusan pengadilan mengabulkan, kan tidak bisa lagi,” tuturnya.

Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan “side effect” dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.

“Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih ‘flexibility’,” katanya kepada Antara di Jakarta, Senin (26/2).

Ia menambahkan negara tidak boleh abai atau dalam posisi “kedap”, negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini.

Di lain sisi kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif, saatnya hukuman yang maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar.

Pemerintah dan Penegak hukum harus tegas agar terlindunginya warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba. Hal ini merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia.

Selanjutnya Azmi menegaskan untuk menangguhkan RKUHP sepanjang mengenai klausula yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara